https://www.weforum.org/stories/2024/08/why-ai-will-not-lead-to-a-world-without-work/

Siapa yang berhak atas karya yang diciptakan AI?

Perkembangan teknologi senantiasa menciptakan tantangan yang harus dijawab oleh hukum dalam hal ini HKI (Hak Kekayaan Intelektual). Persoalan ini muncul sejak dulu bukan hanya baru-baru ini saja. Dahulu, ketika kita ingin membuat sebuah gambar, kita harus melukis, tentu alat-alatnya juga perlu kita persiapkan seperti cat, kanvas, kuas, dsb. Kemudian ditemukannya kamera, untuk menghasilkan sebuah gambar kita hanya perlu memotret saja; tentu disertai dengan teknik-teknik pengambilan gambar, tidak semua orang memiliki kemampuan mengambil gambar dengan baik menggunakan kamera, meskipun tidak se-kompleks melukis pada fase sebelumnya. Perkembangan teknologi kemudian, dalam hal ini smartphone, memberikan suatu kemudahan lagi bagi pengguna, kita bisa lebih leluasa dan dan tanpa perlu teknik yang gimana-gimana dalam menciptakan sebuah karya. Karena setiap jepretan yang dihasilkan sudah terstandarisasi tergantung kualitas smartphone yang digunakan.  Selain gambar, di musik peun terjadi hal yang serupa. Sebelum adanya penemuan teknologi rekaman, satu-satunya cara mengakses musik adalah menyaksikan pementasan. Ketika cara mengakses musik satu-satunya dengan datang ke konser, plagiasi tidak menjadi suatu ancaman, bahkan terpikir saja belum. Dengan munculnya rekaman, potensi terjadinya plagiasi meningkat pesat, apalagi dengan biaya rekaman yang semakin terjangkau. Dalam situasi ini, hukum atas perlindungan hak cipta dituntut untuk dapat melindungi karya-karya yang dulunya tidak perlu dilindungi. Maka kita akan coba menyingkap persoalan HKI (kepemilikan) dalam karya-karya yang diciptakan oleh AI. Siapa yang punya hak atas karya-karya tersebut? Mungkin kah hukum kita mengakomodir HKI yang dimiliki oleh non-manusia atau subjek hukum yang dikenal di Indonesia?

Sekilas tentang HKI dan Legal Personhood

Hak atas kekayaan intelektual adalah hak eksklusif yang timbul atas buah pikiran yang dituangkan dalam bentuk tertentu. Mengapa perlunya HKI? pertama, tujuan privat: hak monopoli–bagi penemu, pencipta untuk melaksanakan atau memperbanyak ciptaannya dan memperoleh hak ekonomi atau memperoleh keuntungan dari temuan yang diciptakan; kedua, tujuan publik, dengan memberikan hak monopoli, diharapkan bahwa penemu maupun pencipta termotivasi menghasilkan lebih banyak karya yang nantinya akan berguna bagi publik melalui diseminasi ilmu pengetahuan. Tujuan privat untuk penciptanya sendiri, tujuan publik supaya adanya transfer of knowledge.  

Macam Kekayaan Intelektual: hak cipta, hak paten, hak merek, desain industri, indikasi geografis, dsb.  HKI merupakan satu payung besar atas hak-hak lain. Misal, bahwa hak cipta merupakan bagi dari HKI, tetapi HKI sendiri merupakan bagian yang umum yang menaungi hak cipta. Hak Cipta adalah hak eksklusif yang melindungi karya cipta seperti, karya tulis, lukisan, fotografi, program komputer. Dengan adanya Chat GPT, DALL E itu mengganggu hak cipta yang merupakan bagian dari HKI. Hak Paten, melindungi penemuan-penemuan yang baru, “syaratnya harus baru”. Misalkan vaksin Covid-19 dan 3D Printing, itu dilindungi oleh hak paten. Hak Merek, melindungi merek dagang yang digunakan sebagai tanda pembeda suatu produk (komoditas) barang/jasa. Misal, sepatu Nike atau Adidas, ada pembedanya meskipun sama-sama sepatu; bisa juga Mcd-KFC, M-150-redbull, Grab-Gojek, dst., fungsi dari komoditas-komoditas yang disandingkan itu sama tapi karena ada pembeda tersebut (merek), dan pembeda itu yang dilindungi oleh Hak Merek. Desain Industri melindungi bentuk-bentuk konfigurasi, warna, garis dari sebuah produk baik bentuknya 2D ataupun 3D; bentuk kursi ergonomis, botol yakult, konfigurasi monitor layar laptop, dsb. Indikasi Geografis, perlindungan bagi produk yang khas berasal dari daerah tertentu. Misal, Kopi Aceh Gayo dan Mebel Ukir Jepara. Hak Cipta merupakan hak eksklusif yang lahir secara otomatis terhadap ciptaan di bidang seni dan ilmu pengetahuan. Bedanya Hak Cipta dengan hak-hak yang lain, Hak Cipta itu lahir secara otomatis tidak perlu didaftarkan. Kalau Hak Paten, Hak Merek untuk mendapatkan hak eksklusifnya harus didaftarkan ke direktorat jenderal HKI. Kalaupun Hak Cipta dicatatkan ke dirjen HKI fungsinya hanya penguatan secara administrasi saja. 

Syarat agar sebuah ciptaan dilindungi di Indonesia adalah. Pertama, ciptaan harus diwujudkan dalam bentuk nyata atau difiksasi; kedua, ciptaan tersebut harus dibuat oleh pencipta (ini masalah). Menurut UU 28/14 HKI, pencipta itu haruslah: Subjek Hukum, orang perorangan atau badan hukum dan pencipta harus memiliki sifat “khas dan pribadi” terhadap ciptaanya. Untuk syarat yang kedua merupakan syarat yang sangat lazim ditemui di negara yang menganut sistem hukum eropa kontinental (baca: Belanda). 

Legal personhood, siapa yang dapat disebut manusia dalam kerangka hukum. Apalagi ketiga diletakan dengan teori-teori humaniora yang sudah sampai pada post-humanism, dsb. Pertama-tama kita akan merujuk Undang-Undangnya terlebih dulu UU 28/2014.

 Pasal 1:

  • Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan.
  • Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.
  • Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.

Hak cipta merujuk ke pencipta, pencipta merujuk ke orang dan orang didefinisikan menjadi dual hal; orang perseorangan dan badan hukum. Yang dimaksud ‘orang’ dalam konteks UU kita tidak secara eksklusif merujuk ke manusia yang berdarah-daging tapi dapat juga merujuk pada corporate entity yang karena disepakati bersama menjadi orang dalam hal ini. Misal menurut hukumonline.com, “subjek hukum adalah entitas yang memiliki hak dan kewajiban.” Di Indonesia hanya diakui dua jenis subjek hukum: pribadi kodrati (natuurlijk persoon) dan pribadi hukum (recht persoon). Dengan kata lain, manusia dan badan hukum. Yang dapat dianggap memiliki HKI hanyalah subjek hukum. 

Subjek hukum sebetulnya adalah fiksi!?, ketika kita berbicara tentang fiksi hukum, misal contoh yang jamak digunakan di Indonesia “kalau peraturan sudah diundangkan, orang dimanapun, di mana peraturan itu berlaku diasumsikan sudah membacanya.” Karena tidak mungkin ketika ada orang melanggar suatu aturan, dan ketika ditanya mengapa ia melanggar?, ia menjawab “saya belum membaca aturanya” lalu ia dibebaskan. Di Indonesia contoh itu dianggap merupakan satu-satunya fiksi hukum. Sebenarnya masih ada fiksi-fiksi yang lainnya, misal “subjek hukum” (perusahaan) dianggap sebagai pribadi (persona ficta) sehingga dapat dilindungi haknya dan dituntut kewajibannya seperti pribadi manusia. Fiksi hukum itu bekerja seolah-olah sesuatu itu bekerja demikian halnya, padahal tidak pada kenyataanya. Dalam hal ini, subjek hukum merupakan suatu theoretical entity yang bisa dikenakan sifat-sifat tertentu: memiliki hak yang harus dilindungi, tanggung jawab yang harus dituntut, dsb.

Bagaimana theoretical entity yang dirancang lewat fiksi hukum ini dimobilisasi di dalam masyarakat. Semisial perdebatan di abad 15 tentang gerakan Konsiliaris dalam konteks gereja (orang-orang yang mendukung kekuasaan absolute untuk Paus). Argumen fiksi hukum juga dikembangkan. Orang-orang Konsiliaris seperti Teolog Juan de Segovia “yang disebut sebagai kekuasaan tertinggi itu adanya di tangan komunitas” karena dalam pengertian hukum kanonik gereja, gereja diartikan sebagai “persekutuan orang-orang beriman.” Persekutuan ini yang menjadi kekuasaan tertinggi dan kemudian baru didelegasikan kepada Paus. Kalau ada orang yang berhimpun dan memutuskan sesuatu, keputusan itu harusnya lebih didengar daripada Paus. Karena Paus itu hanyalah suatu fiksi, kebenaran yang tampil langsung yang disepakati oleh komunitas itu harusnya lebih didengar daripada fiksinya (keputusan si Paus) “ipsa veritas praefertur fictioni”(Black A: 2007:581). Itu argumen bagaimana fiksi hukum masuk ke dalam percakapan publik, dan nantinya menjadi dasar argumen bagi demokrasi pada abad berikutnya. Bahwa raja dan pihak yang dianggap berdaulat adalah suatu fiksi yang digunakan untuk mempermudah pengaturan. Tetapi ketika rakyat sendiri sudah berbicara maka kebenaran harus lebih didengar daripada fiksinya. 

Dalam konteks post-human, definisi personhood itu sendiri meluas, seperti corporate personhood, fiksi hukum yang diakui di semua negara. Perusahaan dianggap sama dengan orang yang memiliki properti, mengadakan kontrak, bisa menuntut dan dituntut.  Kemudian, Kera Besar (Gorilla, simpanse, dll) pada 2007, parlemen Kepulauan Balearic, sebuah komunitas otonom Spanyol, mengesahkan undang-undang pertama di dunia yang mengakui semua kera besar merupakan legal personhood. Orang yang melakukan kejahatan terhadap kera besar dapat dituntut, dan kera besar memiliki hak yang dilindungi oleh hukum. Ada juga yang lain, misal sebagian dari hutan Amazon diberikan status sebagai legal personhood, dianggap sebagai orang melalui fiksi hukum yang sama yang menjadikan perusahaan sebagai person. Demikian pula dengan ekosistem yang lebih abstrak, bentangan alam mati–komposisi dasar laut, pasir, kimia laut, dll., itu disebut sebagai legal personhood juga lewat advokasi Embassy of the North Sea. 

Bagaimana manusia menjadi person? Kita sudah mengurai entitas non-manusia yang menjadi legal personhood yang muncul belakangan. Tapi kenapa manusia sendiri dianggap memiliki personhood dalam kerangka legal. Menurut Visa Kurki (2019:32), pertama-tama legal person itu muncul dalam konsep Corpus Iuris Civilis, person digunakan sebagai peran seperti halnya asal katanya dalam bahasa latin persona (topeng yang digunakan aktor untuk bersandiwara). Jadi person itu rujukannya ke perannya “manusia” di dalam masyarakat bukan dalam artian darah dan daging. Sekitar abad ke 6, Boethius mendefinisikan persona sebagai substansi individual yang bersifat rasional–termasuk dalam kategori ini adalah manusia dan malaikat. Status person ini sifatnya tidak given melekat pada manusia selamanya. Misalnya pada abad Pertengahan status person dapat dicabut, orang dapat berhenti menjadi person, ketika ia melakukan kejahatan berat. Terhadap orang seperti itu diberlakukan penghapusan semua hak termasuk hak menjadi manusia. Orang yang outlaws  akan bisa diperlakukan dengan cara apapun oleh siapapun termasuk oleh binatang. Pada abad 17, Thomas Hobbes membedakan manusia dari person. Person adalah subjek yang mandiri atas tindakan. Maka yang disebut person ini tidak termasuk anak-anak dan orang gila. Dan pada abad 19, Hegel memandang personalitas sebagai hak atas benda (right to things). Hanya manusia yang memiliki personalitas maka hanya manusia yang memiliki hak atas benda. Binatang tidak memiliki hak atas benda, bahkan binatang sendiri adalah benda sehingga dapat dimiliki. Ini sudah mengerucut pada definisi person yang kita kenal hari ini. Dalam proses sejarah ini terlihat bahwa manusia menjadi person itu tidak given dari awal dan transhistoris. Ia menjadi person lewat suatu konstruksi pemikiran yang antara lain karena manusia dianggap memiliki rasionalitas yang mandiri. Lalu bagaimana dengan AI?. Apakah AI juga dapat menjadi person dalam pengertian legal personhood?

AI Sedang Berkembang Pesat

AI hari ini perlu dibedakan dengan 20 tahun lalu, AI hari ini berkembang seperti Chat GPT, Text to Image seperti DALL E, dst., mereka berkembang berdasarkan suatu AI yang disebut sebagai deep learning. Biasanya kita mendengar machine learning, machine learning sendiri masih mensyaratkan kerja manual manusia yang banyak sekali (teacher engineering). Mesin ini harus dilatih untuk menghasilkan atau membaca suatu text dengan memperhatikan aspek apa saja dari text itu; manusia yang membuat–parameter pembelajaran apa saja, satu-satu harus di stel, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, paska 2015 sampai sekarang kita memasuki era deep learning, AI bisa belajar sendiri metode yang tepat untuk melihat suatu text–kita tinggal memberikan suatu corpus sebagai data-set, kemudian kita atur algoritma pembelajarannya seperti apa, kita atur misalnya neural network-nya seperti apa. Setelah itu soal aspek mananya dari text yang akan dipelajari diserahkan kepada AI. Ini yang disebut sebagai representation learning bagaimana kita mempresentasikan text di hadapan mesin, biar mesin yang memikirkan. Kalau dulu yang memikirkan representation learning itu manusia, developernya yang mengembangkan, makanya teacher engineering (mengeksplisitkan aspek-aspek dari corpus yang diteliti itu menjadi suatu hal yang merepotkan). Namun sekarang AI bisa melakukan pembelajaran secara mandiri atau merdeka belajar kalau kata Kemendikbud. 

Menggugat Antroposentrisme Hukum dan Menengok Persoalan Kepemilikan

Ada gugatan tentang antroposentrisme hukum, konsepsi hukum yang menempatkan manusia sebagai puncak dari segalanya. Boethius dulu mendefinisikan person sebagai “substansi individual yang bersifat rasional” (naturae rationalis individua substantia). Manusia memenuhi prasyarat itu, begitu juga perusahaan dan badan hukum lain. Lalu, mengapa AI tidak bisa disebut rasional sedangkan ia sudah bisa belajar sendiri (representation learning)? Kenapa AI dianggap ciptaan sedangkan manusia sebagai pencipta? Menurut seorang peneliti dalam philosophy of intellectual property, Thomasz Pietrzykowski (2019:49), menyebut bias kemanusian sebagai “humanisme yuridis” yang ditopang oleh asumsi tentang “human exceptionality in nature,” manusia tidak terbandingkan berada di luar pengecualian dengan entitas yang lain. 

Kita bisa saja memperluas konsep legal personhood dengan menjadikan AI sebagai orang ketiga setelah orang perseorangan dan badan hukum, seperti halnya Kera Besar dan Laut Utara yang dijadikan subjek hukum. Persoalannya dalam kasus AI, siapakah AI? Kalau binatang, ekosistem alam, badan hukum, dan manusia kita bisa dengan jelas menunjukan batasnya–batas teritorial, badani, dst. Sehingga klaim kepemilikannya dapat dievaluasi. Sedangkan AI itu rakitan (assemblage) dari berbagai kode yang dihasilkan oleh manusia yang berbeda di sepanjang perkembangan matematika dan ilmu komputer. AI adalah kekayaan intelektual yang menghasilkan kekayaan intelektual, suatu ciptaan yang menghasilkan ciptaan. 

Beberapa negara sudah memiliki pengaturan untuk menentukan kepemilikan kekayaan intelektual karya AI. Di Amerika Serikat sudah ditegaskan bahwa jika sebuah ciptaan itu dibuat oleh non-human entity maka kekayaan intelektual karya tersebut tidak dapat dilindungi oleh hak cipta. Pembatasannya adalah hanya ciptaan oleh manusia yang dapat dilindungi. Contoh kasusnya adalah Monkey Selfie, ada monyet yang mengambil selfi sendiri tetapi yang mengklaim hak cipta atas karya tersebut adalah fotografer yang sengaja meletakan kamera tersebut. Di AS memutuskan bahwa karya tersebut tidak dilindungi oleh hak cipta karena yang mengambil  gambar adalah monyet itu sendiri, sehingga potret monyet itu jatuh menjadi domain publik. Di Inggris, dinyatakan bahwa semua karya yang diciptakan oleh komputer itu dimiliki oleh pihak yang melakukan “arrangement necessary” terhadap terwujudnya suatu ciptaan. Di luar aturan-aturan hukum yang diterapkan oleh negara, sebenarnya ada juga terms and conditions yang dinyatakan secara langsung oleh platform AI-nya–misal kalau di Chat GPT hak ciptanya ada pada open AI sebagai programmer yang menciptakan platform Chat GPT. Atau di AIFA.AI (platform AI yang membuat music) tertulis di terms and conditions-nya memberikan semacam subscription plan, ketika plan yang digunakan adalah yang gratis hak cipta jatuh pada programernya; ketika kita memilih untuk menggunakan yang premium tergantung paket yang ditawarkan hak cipta musik itu menjadi milik kita. 

Di Indonesia hal ini masih menjadi absurditas yang diperdebatkan, seperti ketika diskusi antara Dirjen Kekayaan Intelektual (DJKI) dengan perwakilan Kemenparekraf Ari Juliano Gema di Channel Kemenparekraf. DJKI menyampaikan kalau mungkin kekayaan intelektual itu dihasilkan oleh AI dengan memperluas legal personhood; Kemenparekraf memandang tidak boleh, harusnya yang bisa memegang kekayaan intelektual adalah manusia atau badan hukum. Pertanyaan siapakah AI tetap masih menjadi suatu yang sentral. Kita juga perlu masuk dalam pertanyaan “apa syarat-syarat dari kepemilikan? Karena kalau dikatakan AI merupakan legal personhood dia memiliki sesuatu, diakui hak kekayaan intelektualnya, disitulah muncul persoalan kepemilikan. 

— — —

Teori Kepemilikan Lockean yang dirangkum oleh Peter Drahos, The Philosophy of Intellectual Property (1996:50).

  1. God has given the world to people in common.
  2. Every person has a property in his own person.
  3. A person’s labour belongs to him.
  4. Whenever a person mixes his labour with something in the commons he thereby makes it his property.
  5. The right of property is conditional upon a person leaving in the commons enough and as good for the other commoners.
  6. A person cannot take more out of the commons than they can use to advantage.

Masalah teori Lockean dalam kasus HKI yang urai oleh Ignatius Haryanto (2014). Berbeda dengan kekayaan non-intelektual (komoditas fisik). Misalnya masalah, yang pertama terkait, Mixing Labour, kalau menurut Locke “suatu benda di alam menjadi kita karena kita sudah mencampurkan kerja kita di sana.” Tapi dalam kasus kekayaan intelektual itu merupakan hasil kerja banyak orang, bahkan lintas generasi. Seperti apa yang dikatakan Newton “Jika saya melihat lebih jauh, itu karena saya berdiri di atas bahu para raksasa.” Newton mengakui adanya kontribusi dari orang-orang terdahulu sebelum dia–ini masalah mixing labour. Jadi Kekayaan intelektual itu atribusinya tidak bisa langsung spesifik ke satu individu ada perusahaan, karena dia menarik data, pengetahuan, bacaan dst., banyak sekali sumber dari generasi-generasi sebelumnya yang sifatnya open source. 

Kedua, masalah pembatasan akses. Kekayaan intelektual itu sifatnya intangible, tidak tersentuh dan terpegang, sehingga akses seseorang terhadap suatu kekayaan intelektual tidak menutup akses orang lain terhadap kekayaan intelektual yang sama. Beda dengan roti yang kalau dimakan satu orang, maka orang lain tidak kebagian. Konsumsi dalam kekayaan intelektual tidak membatasi akses terhadap konsumsi orang lain. Ketiga, penghamburan sumber daya. Karena bersifat intangible, kekayaan intelektual tidak akan habis dikonsumsi oleh semua orang. Konsumsi kekayaan intelektual justru meningkatkan produksi kekayaan intelektual yang baru. Semakin orang terpapar oleh produk kekayaan intelektual semakin ia terinspirasi untuk berkarya (baca: musik, sastra, dst). 

Karena berdasarkan beberapa persoalan itu, kekayaan intelektual harusnya dikategorikan sebagai public goods karena bersifat non-excludable dari segi akses dan non-rivalrous dari segi konsumsinya. Jika ada kelangkaan pada kekayaan intelektual, itu karena kekayaan intelektual dibuat jadi langka lewat pembatasan akses. Dengan itu, kekayaan intelektual jadi langka secara artifisial dan dari situ pula muncul kekayaan artifisial: proses eksploitasi kekayaan intelektual kiwari banyak dilakukan oleh perusahaan besar, bukan pencipta kekayaan intelektual itu sendiri dan pada akhirnya menghambat inovasi dan pertukaran pengetahuan yang sehat.  Menurut Prof. Agus Sardojo, “Pendekatan ownership yang diadopsi sistem HKI ketimbang sistem authorship bahkan telah mengembalikan sistem feodalisme yang hendak dilawan oleh Locke. Bedanya, dulu ownernya adalah kaum feodal, sedangkan saat ini ownernya adalah pemilik modal (Haryanto: 2014).”

Seandainya kita kembalikan pemegang HKI kepada author bukan owner, masih ada dua soal. Pertama, pencipta kekayaan intelektual tadi selalu berdiri atas bahu para raksasa (standing on the shoulders of giants)–terpengaruh oleh para pencipta sebelumnya. Dalam hal ini tidak ada pencipta individual, yang ada adalah masyarakat secara keseluruhan sebagai pencipta (lintas generasi-lintas bangsa) the whole society as author. Kedua, karena AI dapat menciptakan kekayaan intelektual dan kekayaan intelektual dapat mempengaruhi pencipta manusia yang lain yang baru untuk menciptakan kekayaan intelektual yang lain maka sebenarnya; maka sebelumnya pencipta manusia yang baru tadi berhutang keberadaanya kepada AI. Dalam proses demikian AI juga dapat dikatakan menciptakan manusia sebagai pencipta. 

Jadi ?

Ada satu solusi atas dua persoalan tersebut. Marx dalam Grundrisse (1858) pernah membahas hal tersebut, “Pengetahuan umum masyarakat sudah menjadi bagian penting dalam kondisi produksi ekonomi. Misalnya mesin, mesin yang kita lihat sebagai mesin sebenarnya adalah penubuhan sejumlah jam kerja tertentu yang dipakai untuk menghasilkan mesin itu; tetapi juga sejumlah ilmu pengetahuan, teori, wawasan masyarakat yang dikembangkan selama bertahun-tahun bahkan ratusan tahun yang masing-masing seringkali tidak menuntut biaya.”  Dalam proses panjang itu sampailah pada terciptanya mesin, kemudian mesin itu dipatenten kan, dan yang mematenkan mesin itu tidak membayar atas pengetahuan-pengetahuan yang didapat dari generasi-generasi sebelumnya. Dari situlah Marx kemudian berbicara tentang “general intellect.” 

Kita yang hidup di masa modern ini ada dalam kendali general intellect. General intellect adalah suatu intelek umum milik masyarakat yang tidak diatribusikan secara individual, intelektual dari keseluruhan manusia yang pernah hidup; yang dengan caranya masing-masing saling memperkaya pengetahuan umum. Inilah yang menjadi dasar kemajuan teknologi. Dalam konteks AI argumen yang mengkritik mixing labour juga berlaku: AI (sama halnya dengan kekayaan intelektual) merupakan ekspresi dari seluruh anggota masyarakat, suatu ekspresi dari general intellect. Karena AI juga mencipta pencipta kekayaan intelektual yang turut membentuk masyarakat, maka masyarakat harus dilonggarkan definisinya: mencakup baik human dan non-human (meliputi AI dan seluruh interaksi dengan alam sebagai landasan pencipta kekayaan intelektual). Jadi, AI dan kekayaan intelektual harus dimiliki secara komunal oleh semua orang dan dikelola demi kemaslahatan Planet Bumi sebagai planetary public goods.

Sebelumnya di post di medium.com/@hellobeni

Daftar Pustaka

Black, A. 2007. The Conciliar Movement. Published by CUP

Drahos, P. 1955. A philosophy of intellectual property. Published by ANU

Haryanto, I. 2014. Sesat Pikir Kekayaan Intelektual. KPG: Jakarta

Kurki, V. 2019. A Theory of Legal Personhood. Published by OUP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top