Selain uang, tambang tampaknya menjadi alat tukar yang cukup menjanjikan. Setelah tahun lalu Ormas keagamaan dibagi jatah tambang, kini giliran kampus diiming-imingi pemerintah untuk mengelola tambang. Hal itu tercantum dalam revisi Undang-Undang Minerba yang sedang digodok DPR. Selain mengagetkan, kebijakan ini juga menuai pro kontra di kalangan akademisi, politisi, hingga aktivis lingkungan.
Sebenarnya sejak 2016 Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (APTSI) sudah menyodorkan proposal konsesi tambang kepada Presiden Jokowi, namun tidak diacuhkan. Selanjutnya proposal kembali disodorkan kepada Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran pada pemilu tahun lalu. Usulan tersebut tercatat dalam dokumen Peta Jalan Pendidikan Bahagia Menuju Indonesia Emas 2045 yang disusun oleh APTSI.
Sesuai dalam naskah RUU Minerba, konsesi tambang dimaksudkan untuk meningkatkan akses layanan pendidikan bagi masyarakat. Logika yang dipakai pengusul dan pemerintah adalah ketika perguruan tinggi mengelola tambang, maka akan mendapatkan keuntungan, sehingga dari keuntungan tersebut dapat digunakan untuk biaya operasional kampus dan menekan biaya kuliah mahasiswa. Namun apakah akan seperti itu?
Biaya Kuliah Semakin Mahal
Survey Kompas.com menunjukkan bahwa tiap tahunnya, biaya pendidikan naik 15%. Hal itu tak sebanding dengan kenaikan gaji per tahun yang hanya 7%. Parahnya pasca pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja kenaikan gaji per tahun paling tinggi hanya 6,5%. Menurut data Kompas.com, dengan kenaikan gaji yang lamban itu orang tua yang mempunyai anak di tahun 2022 harus mengubur mimpi menguliahkan anaknya di tahun 2040 karena biaya sudah naik beratus kali lipat.
Salah satu biang dari mahalnya biaya kuliah adalah penerapan UU Pendidikan Tinggi No 12/2012 . Dengan undang-undang tersebut kampus negeri dibagi menjadi tiga jenis: Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), PTN BLU (Badan Layanan Umum), dan PTN Satker (Satuan Kerja). Ketiganya memiliki perbedaan dari segi otonomi dalam pengelolaan organisasi, kemahasiswaan, ketenagaan, dan keuangan.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan kampus, PTN BH memiliki otonomi keuangan yang berbeda dari PTN BLU dan PTN Satker. Hal itu berimplikasi pada kampus PTN BH yang dapat mengelola sumber dananya secara mandiri. Kampus PTN BH lantas dapat memiliki usaha serta mengatur biaya kuliah tanpa kontrol pemerintah. Oleh karena itu, PTN BH memiliki posisi ideal untuk menerima konsesi tambang ini.
Kondisi tersebut dapat didefinisikan sebagai swastanisasi pendidikan. Alih-alih berperan membiayai pendidikan, negara justru lepas tangan dengan dalih kampus dapat mengelola keuangannya secara mandiri.
Kampus PTN BH lantas mendirikan perusahaan untuk menunjang biaya operasional. Sebagai contoh, dua pionir awal kampus PTNBH: Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI) memiliki perseroan terbatas. UGM memiliki PT Gama Multi Usaha Mandiri (Gama Multi) yang menjadi induk dari belasan anak usaha di bawahnya. Universitas Indonesia memiliki PT Usaha Indonesia Corpora (UI Corpora) yang merupakan Holding Company yang mensinergikan unit-unit usaha komersial yang dimiliki Universitas Indonesia.
Perusahaan yang dibangun seharusnya dapat memenuhi biaya operasional, sehingga kenaikan biaya kuliah tidak terjadi lagi. Namun faktanya kampus masih mengandalkan pendanaan dari mahasiswa. Survey Bappenas menunjukkan dari total penerimaan, sumber pendanaan paling besar berasal dari Uang Kuliah Tunggal (UKT), yakni rata-rata mencapai 37%. Berbagai model bisnis yang dikembangkan, nyatanya belum cukup untuk biaya operasional kampus.
Tambang Adalah Solusi?
“Jika ingin melihat sebuah kebijakan, dengarkan apa yang dikatakan pemerintah, lalu lihat sebaliknya”. Kata-kata ini disadur dari artikel Agus Mulyadi di Mojok.co yang awalnya ditujukan khusus untuk Jokowi, tapi nampaknya bisa juga digunakan untuk melihat bagaimana kebijakan omon-omon pemerintahan sekarang. Toh tagline rezim sekarang adalah rezim “keberlanjutan”.
Dibanding manfaatnya, kebijakan pengelolaan tambang oleh kampus akan menimbulkan banyak mudharatnya. Hal itu bisa dilihat dari pembahasan RUU Minerba yang serba mendadak dan dilakukan saat masa reses DPR, minimnya partisipasi publik, hingga naskah akademik yang bahkan anggota DPR pun belum memegangnya jadi indikasi kuat kebijakan ini akan merugikan rakyat.
Kucing-kucingan dengan rakyat dalam pembuatan undang-undang tampaknya menjadi hal yang sudah (di)wajar(kan). Taktik pemerintah itu terbukti ampuh dilakukan ketika periode Jokowi yang ke dua. Salah satu produknya adalah Omnibus Law Cipta Kerja. Undang-undang itu ditujukan untuk membuka keran investasi dan menciptakan lapangan kerja. Nyatanya jumlah PHK justru meningkat tiap tahunnya dan angka pengangguran masih tergolong tinggi.
Lagipula, sulit untuk menemukan alasan yang bisa diterima untuk kampus bisa mengelola tambang. Tugas dari Universitas terpatri dalam tri dharma perguruan tinggi, yaitu; pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Sulit kiranya memasukkan pengelolaan tambang dalam tiga tugas tersebut. Jika dikaitkan dengan pendidikan, beberapa kampus memang memiliki jurusan pertambangan, namun yang perlu digaris bawahi pembelajaran dan pekerjaan adalah dua hal yang tidak bisa disamakan. Orientasi kampus akan semakin berubah dari yang seharusnya mendidik mahasiswa menjadi “manusia” menjadi hanya fokus untuk bisnis yang bersinonim dengan orientasi profit.
Dalam penelitian, kampus seharusnya berdiri sebagai pihak yang memikirkan bagaimana masa depan tambang, baik pengaruhnya terhadap keberlangsungan alam maupun masyarakat. Selanjutnya dalam pengabdian kepada masyarakat, bagaimana tambang bisa digolongkan dalam pengabdian kepada masyarakat, jika tambang justru berpotensi besar menjadi pemicu konflik dengan masyarakat. Data dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menyebutkan pada tahun 2023, terdapat 32 kali letusan konflik di 57 desa dan mengorbankan 48.622 kepala keluarga.
Lagipula mengelola tambang itu tak semudah memasarkan kampus dengan embel-embel go-international. Seperti yang dikatakan Ridho Kresna Wattimenam, Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB dalam wawancaranya dengan Tempo.co. Ridho menyampaikan jika bisnis tambang tergolong sulit karena banyak faktor yang mempengaruhi, seperti: fluktuasi harga komoditas barang tambang yang dipengaruhi pasokan dan pemerintahan. Kampus juga tidak memiliki modal jika harus mengelola tambang dari awal. Juga bisnis ini belum tentu dapat balik modal dalam waktu singkat. Jika merugi atau pailit, lantas siapa yang menanggung itu semua? Jawaban paling memungkinkan adalah mahasiswa, sebagai sapi perah sekaligus rantai terbawah dalam hirarki kampus.
Secara politik, tambang juga berpotensi membungkam nalar kritis dosen dan mahasiswa. Jika menerima konsesi itu, niscaya kampus telah kehilangan legitimasi moralnya untuk mengkritisi pemerintah. Belajar dari Ormas keagamaan, yang absen dalam mengkritisi usaha Jokowi mendorong Kaesang maju pilkada atau kenaikan PPN 12% setelah menerima konsesi tambang.
Bertanya Dahulu Bergerak Kemudian
Pemerintah akan selalu mengkondisikan agar kepentingannya berjalan mulus tanpa ada protes. Oleh karena itu, hegemoni diperlukan untuk mengendalikan institusi—dalam hal ini kampus—untuk tetap diam. Pemberian tambang kepada kampus seharusnya menimbulkan pertanyaan sendiri kepada civitas akademika. Ada apa di balik ini semua? Mengapa tiba-tiba ini dilakukan? Apakah kebijakan ini akan menguntungkan dan bermanfaat, atau justru merugikan? Siapa yang paling dirugikan dari ini semua? Sebab dengan bertanya, narasi kontra hegemoni itu akan terbangun.