Realisme Sosialis Tetralogi Buru (Bagian II)

Tetralogi Buru Dikupas Dari Perspektif Realisme Sosialis

Lekra terkenal dengan semboyannya: Politik adalah Panglima. Menurut Pram, sebelum menulis, seorang pengarang terlebih dahulu perlu mengkaji bahan-bahan yang dimilikinya dari sudut pandang politik. Baginya, kesalahan analisa politik lebih berbahaya dibandingkan kesalahan artistik. Oleh sebab itu, “politik harus jadi obor.”[51] Pram sejalan dengan Njoto bahwa politik harus sebagai penuntun setiap langkah. Dan, politik di sini bukanlah politik elit, tapi politik berdasarkan garis massa.[52]

Gema “Politik adalah Panglima” terlihat sangat jelas dalam Tetralogi Buru. Kata-kata Minke dalam Rumah Kaca sangat gamblang: “Semua berpautan dengan politik!”[53] Inilah gema realisme sosialis ala Lekra. Dengan panjang lebar Minke menjabarkan bahwa sejak zaman nabi, orang tak bisa lepas dari politik. Lebih tegas Minke menyatakan: “selama masih ada yang diperintah dan memerintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik.”[54] Begitulah politik, senang atau tidak, semua bertautan dengannya. Dengan kata lain, politik adalah panglima.

Minke, protagonis dalam Tetralogi Buru, bisa dikatakan cermin perjalanan ideologi kepengarangan Pram. Ia berasal dari lingkungan priyayi Jawa yang memiliki prestise dibandingkan golongan hamba sahaya. Dengan prestisenya itu, ia bisa menikmati pendidikan kolonial sampai tingkat tertinggi. Sebagai siswa HBS, ia gemar menulis—seperti Pram. Sebagai produk manusia modern, ia sangat menggandrungi Barat. “Dalam hidupku, baru seumur jagung,” aku Minke, “sudah dapat kurasai: ilmu pengetahuan [Barat] telah memberikan padaku suatu restu yang tiada terhingga indahnya.”[55] Dengan bekal baru tersebut, ia merasa “telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari sebangsaku pada umumnya.”[56]

Kegandrungan pada Barat membuat Minke memuji segala produk modernisme Barat. Ia mengagumi percetakan dan berseru: “Coba, orang sudah dapat memperbanyak potret berpuluh ribu lembar dalam sehari.”[57] Ia terkesima oleh kemajuan mesin. Katanya, “Kekuatan bukan lagi monopoli gajah dan badak. Mereka telah digantikan oleh benda-benda kecil buatan manusia: torak, sekrup dan mur.”[58] Kekaguman Minke pada Barat tak hanya berhenti pada hasil modernisasinya, tapi juga pada perempuannya. Minke terpesona oleh calon ratu Belanda. Ia memujinya sebagai: “Dara kekasih para dewa…”[59] Kecantikan perempuan macam itu bisa terjadi karena “letak dan bentuk tulang yang tepat, diikat oleh lapisan daging yang tepat pula.”[60]

Keterpukauan pada Barat juga membuat Minke memilih bahasa Belanda dalam karir awal kepenulisannya. Awalnya, ia menulis iklan sebelum beralih menulis cerita fiksi. Ia mempublikasikan karyanya dalam koran S.N. v/d, antara lain berjudul Een Buitengewone Gewone Nyai di Ik ken (Seorang Nyai Biasa yang Luar Biasa yang Aku Kenal)[61] dan Uit het Schoome Leven van een mooie Boerin (Dari Kehidupan Indah Seorang Wanita Petani Cantik).[62] Minke pun semakin percaya diri menulis dengan bahasa Belanda setelah mendapatkan pujian dari gurunya. “Dia telah mampu menulis tanpa kesalahan dalam bahasa yang bukan  miliknya,”[63] puji Magda Petras, guru idola Minke. Minke telah dianggap sebagai produk hibridasi kolonial Belanda lewat Politik Etis yang berhasil.  

Di bagian awal ini, Minke sama dengan Pujangga Baru dan kelompok Gelanggang yang berkiblat pada Barat, juga Pram. Sampai akhirnya ia disadarkan oleh seorang Nyai bernama Ontosoroh. Nyai mengingatkan: “Jangan agungkan Eropa secara keseluruhan.”[64] Minke pun mulai terbuka setelah melakukan perjalanan ke daerah.

Dalam realisme sosialis, seorang pengarang perlu mengenal lingkungan masyarakatnya. Oleh sebab itu, ia perlu melakukan turba (turun ke bawah). Turba dalam konsepsi Pram bertujuan “menguasai realitas kehidupan massa” sehingga setiap pengarang “harus biasa dan membiasakan diri memasuki kehidupan massa itu sendiri, belajar dari pengalaman massa, ikut suka duka massa.”[65] Dan, Minke mempraktekkan ini.

Dari Surabaya, Minke melakukan turba ke Sidoarjo. Turba ini penting bagi Minke karena, menurut Kommer—seorang wartawan Indo—, “Akan Tuan ketahui nanti, terlalu banyak yang Tuan tidak ketahui tentang bangsa Tuan sendiri.”[66] Dan, turba akan membuat: “Sekali Tuan menggauli bangsa Tuan sendiri, Tuan akan menemukan sumber tulisan yang takkan kering-keringnya, sumber tulisan abadi.”[67] Kata Komer ini akan mengingatkan pada esai Ting Ling yang diterjemahkan Pram, Hidup dan Penulisan Kreatif. Pengarang, bahwa pengarang harus “meresapi hidup” dengan berada di tengah-tengah massa..

Dalam Anak Semua Bangsa, Sidoarjo dipilih sebagai lokasi turba Minke karena daerah ini merupakan pusat perkebunan tebu, “yang kulihat hanya tebu, tebu melulu, mengombak-ombak seperti lautan hijau di atas pasir ungu-hijau.”[68] Di tempat inilah konflik antara kekuasaan kolonial dan Pribumi akan terlihat jelas. Dalam kereta api yang akan membawanya ke Tulangan, Minke sudah melihat penindasan kolonial: “…nampak serombongan rodi memperbaiki jalan keretapi dan seorang peranakan Eropa duduk di atas kuda, berpedang, mengawasi mereka bekerja.”[69] Minke mengaku sudah sejak kecil mengetahui kesengsaraan orang Pribumi yang dipaksa bekerja paksa. Pun, dari Saidja dan Adinda,  ia mendapatkan gambaran tentang kesengsaraan kaum tani. Tapi, dengan melihat langsung dari atas kereta api, kejadian tersebut “mendadak jadi penghuni pikiran.”[70]

Tebu dan gula pada zaman Minke merupakan primadona bagi modal Belanda. Ya, “semuanya berkisar pada gula, juga kejahatannya, juga impian-impiannya.”[71] Dengan berada di lingkungan pabrik gula, Minke mulai mengenal bangsanya sendiri. Ia mengenal Sunarti yang rela memangsakan dirinya pada wabah cacar karena tak mau dijual oleh bapaknya kepada direktur pabrik gula. Di Tulangan pula Minke bertemu Trunodongso, petani korban pabrik gula. Di depan Minke, Trunodongso membongkar akar bulus perusahaan tebu dalam sewa tanah. Minke mendengar dan mencatatnya.     

Agar lebih dekat dengan kehidupan petani, Minke tidur di rumah Trunodongso. Ia rupanya menjalankan “tiga sama” yang ditekankan Lekra: bekerja bersama, makan bersama, dan tidur bersama.[72] Dari situlah Minke memperdalam tulisannya tentang kehidupan para petani di sarang pabrik gula.

Sekembalinya dari turba, dengan percaya diri, Minke mendatangi koran S.N. v/d. Ia serahkan tulisan terbaiknya kepada Maartn Nijman, bos koran itu. Dan, kesadaran baru pun diperoleh Minke. Melalui perdebatan panjang, akhirnya tulisan tentang Trunodongso ditolak. Minke patah. Tak menduga tulisan hasil turbanya ditolak tanpa sebab. Ketika bertemu Kommer, Minke barulah mendapatkan penjelasan bahwa S.N. v/d merupakan koran yang didanai pabrik gula. Tentu saja, koran tersebut tak mungkin memuat tulisan yang menyerang pihak pemberi dana. Sejak saat itu,  Minke berkenalan dengan kata baru: modal.

Pelan-pelan, Minke mengetahui cara kerja kapitalis. Pengertian modal pertama ia peroleh dari Robinson Crusoe, tokoh dalam novel Defoe. “Bukan karena modalnya dia bisa hidup, tapi karena kerjanya,” kata Minke.[73] Pandangan ini memang Marxis; menempatkan kerja sebagai esensi kehidupan manusia. Naluri manusia yang pertama adalah memenuhi kebutuhan hidup. Kerja merupakan aktivitas yang disengaja untuk mencukupi pangan, sandang dan papan. “Yang membedakan arsitek yang paling buruk dari yang terbaik di antara lebah ialah,” tulis Marx, “bahwa arsitek itu membuat struktur dalam imajinasi sebelum dia mendirikannya dalam realita.” Artinya, kerja dilakukan dengan sadar, bukan semata insting hewani. Tanpa kerja ini, kata Minke: “semua takkan ada harganya.” Pun, modal.

Setelah berdiskusi panjang dengan Ter Haar—yang menurut Pamela Allen[74] merupakan personifikasi dari Sneevlit, tokoh sosialis yang menjadi “guru” tokoh-tokoh komunis Indonesia—pengertian Minke tentang modal semakin meluas. Ter Haar menjelaskan tentang “jaman kemenangan modal.” Modal dalam pengertian Ter Haar—sebagaimana pengertian Marx adalah tak hanya sebatas uang, melainkan meliputi kekuatan-kekuatan abstrak yang mengendalikan hidup manusia. Lewat modal itulah kapitalisme membuat “yang berpencar berkumpul, yang berkumpul berpencar, yang cair jadi beku.” Modal pula yang mengendalikan “cara berpikir, cita-cita.”[75] Dialog Minke dan Ter Haar merupakan upaya untuk menelanjangi kebusukan kapitalisme.

Setelah segi-segi realisme sosialis, seperti “politik adalah panglima”, “turba”, dan “analisa kelas tentang kapitalisme” dijabarkan dalam Tetralogi Buru, masihkah ada hal lain yang ingin disampaikan Pram?

Lenin pernah membuat tulisan pendek berjudul “Where to be done?” (Dari Mana Kita Mulai). Tulisan ini menjabarkan pentingnya koran dalam perjuangan gerakan Kiri. Lenin menggambarkan koran sebagai perancah yang menghubungkan sebuah bangunan. Menurutnya, koran berperan sebagai alat propaganda sekaligus pengorganisasian massa. Selain tulisan tersebut, Lenin juga menulis What to be done? (Apa yang Harus Dilakukan?). Titik tekan tulisan ini adalah pentingnya membangun organisasi modern berbasiskan massa rakyat sebagai alat perlawanan. Dan, inilah yang dikerjakan Minke.

Setelah hijrah dari Surabaya ke Batavia, hidup Minke berkisar pada dua hal: koran dan organisasi. Titik tolak Minke pada periode Jejak Langkah ini bukan lagi Barat, tapi Tiongkok. Bila pada periode Bumi Manusia ia terpesona pada Barat lewat paras cantik Ratu Belanda dan perempuan Indo, Annelis, maka setelah melewati masa berjarak dengan Barat pada periode Anak Semua Bangsa, Minke memilih Ang Sang Mei. Siapa dia? Ang Sang Mei merupakan aktivis gerakan revolusioner Tiongkok yang sedang membangun kekuatan di Indonesia. Perempuan inilah yang membuka cakrawala Minke tentang tugas seorang terpelajar Pribumi dalam melawan ketamakan kolonialisme.

Hong Liu menduga karakter Ang Sang Mei merupakan karakter Chen Xiaru, seorang penerjemah yang bertemu Pram saat di Tiongkok. Menurut Liu, pertemuan Pram dengan Xiaru cukup menimbulkan kesan mendalam di antara keduanya.[76] Bahkan, dalam karya Pram, Hoakiau di Indonesia, Xiaru merupakan sosok imajinatif dalam karya tersebut—dengan nama samaran Hs-y. Dari karakter Xiaru inilah muncul tokoh Ang Sang Mei dalam Jejak Langkah.

Bersama Ang Sang Mei, Minke mendatangi ceramah seorang dokter Jawa, Wahidin. Dalam ceramahnya, Wahidin menyinggung perlunya organisasi modern bagi kalangan pribumi. Apa pengertian organisasi modern? Wahidin menjelaskan sebagai organisasi yang “diatur dengan aturan demokratis, juga mendapatkan pengakuan dari kekuasaan yang berlaku, …dan lebih dari itu, organisasi modern di Hindia ini sama harganya dengan satu orang Eropa di hadapan Hukum.”[77] Dalam hal organisasi modern, menurut Wahidin, Pribumi tertinggal dari orang-orang Tionghoa dan keturunan Arab.

Berbicara di depan calon dokter, Wahidin juga menyinggung peranan dokter Pribumi “bukan hanya menyembuhkan tubuh terluka dan menanggung sakit, juga jiwanya, juga hari depannya.”[78] Kata-kata Wahidin ini merupakan pantulan dari pandangan Pram ketika berada di Tiongkok. Saat itu, Pram menulis bahwa penulis adalah “insinyur jiwa” bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu, seorang penulis harus terlibat dalam setiap perjuangan untuk masa depan yang lebih baik.

Periode inilah titik balik Minke. Ia bukan lagi penulis cerita-cerita yang “menghibur pembacanya, bahwa tak ada terjadi sesuatu di Hindia, bahwa keadaan aman dan sentausa,”[79] melainkan menjadi penulis yang terlibat. Dengan kata lain, pena saja tak lagi cukup digunakan untuk membawa Hindia lepas dari cengkraman kolonialisme Belanda. Ia menjawab pertanyaan Lenin dalam Apa yang Harus Dilakukan? dengan mendirikan organisasi yang dinamakan Syarikat Priyayi[80] dan beranggotakan para priyayi. Namun, dalam perkembangannya, para priyayi ternyata tak bisa memutar baling-baling organisasi. Mereka lebih sibuk mengejar pangkat dan jabatan daripada berjuang untuk rakyat. Sarikat pun mati, meskipun tidak dengan semangat Minke. Ia kembali mencari baling-baling baru, dan menemukannya pada para pedagang beragama Islam, lapisan tengah masyarakat. Maka, lahirlah SDI (Sarikat Dagang Islam). Kelak, ketika Minke sudah tak ada, SDI berkembang menjadi SI (Sarikat Islam) yang kemudian berkembang menjadi Partai Komunis Hindia. Pada periode inilah, Minke menjalankan amanat Lekra bahwa penulis harus terlibat dalam perjuangan rakyat dan selalu berada di garis massa.

Bersamaan dengan pembangunan organisasi, Minke juga menjawab pertanyaan Lenin: Dari Mana Kita Mulai? dengan mendirikan koran bernama Medan. Inilah koran pertama yang merupakan: “Milik pribumi sendiri. Bukan punya Belanda, Tionghoa atau pendatang lain.”[81] Dari mingguan, koran ini berubah menjadi harian. Tentang masalah bahasa, Minke pada akhirnya melakukan saran Kommer pada peridoe Anak Semua Bangsa: menggunakan bahasa Melayu, yang bukan Melayu sekolahan, melainkan Melayu pasar yang banyak digunakan Pribumi kebanyakan.[82] Ini tentu pilihan politis; meninggalkan bahasa Belanda (milik penjajah) untuk diganti dengan bahasa Melayu, yang kelak menjadi cikal bakal bahasa nasional bangsanya.

Medan awalnya hanya sebatas berisi penyuluhan hukum. Lantas Nyai Ontosoroh mengingatkan: “…kalau kau terus-teruskan juga mengurus penyuluhan, sebenarnya kau tak lebih dari pengabdi Gubermen dengan biayanya sendiri.”[83] Sejak itu, Medan berubah. Medan menjadi tempat penampung suara rakyat. Medan tumbuh menjadi corong bagi rakyat sebangsanya, sekaligus alat untuk menyatukan rakyat yang keberadaannya terpencar-pencar. Koran sebagai alat propaganda dan pengorganisiran, seperti kata Lenin, telah diwujudkan oleh Minke—Sang Pemula.

Melalui pembahasan singkat ini, unsur-unsur realisme sosialis sangat kuat terpatri dalam Tetralogi Buru. Dan, inilah yang (sengaja) tak dibahas oleh Teeuw agar Pram pasca Buru adalah Pram yang kembali pada humanisme universal, bukan Pram pada periode Lekra dengan realisme sosialisnya. Itulah wujud nyata politik kritik sastra humanisme universal. Tapi, kebenaran tak bisa dibendung. Hingga tubuhnya dimasukkan ke dalam liang lahat di Karet, Pram selalu setia pada realisme sosialis. Pram yang menghasilkan karya realisme sosialis ala Indonesia lewat Tetralogi Buru.

Adakah karya sastra Indonesia modern yang mengandung unsur-unsur realisme sosialis melebihi Tetralogi Buru?***    


[51] Pramoedya, op.cit., Realisme, hal. 99

[52] ibid., hal. 201

[53] Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca (Jakarta: Hasta Mitra, 1989), hal. 313

[54] ibid., hal. 313

[55] Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (Jakarta: Hasta Mitra, 1980), hal. 2

[56] ibid. hal. 2

[57] ibid., hal. 2

[58] ibid., hal. 3

[59] ibid., hal. 4

[60] ibid., hal. 5

[61] ibid., hal. 96

[62] ibid., hal. 192

[63] ibid., hal. 195

[64] Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa (Jakarta: Hasta Mitra, 1980), hal. 75

[65] op.cit., Realisme, hal. 101

[66] op.cit., Anak, hal. 108

[67] ibid., hal. 108

[68] ibid., hal. 114

[69] ibid., hal. 113

[70] ibid., hal. 114

[71] ibid., hal. 118

[72] Rhoma Dwi Ariani Yuliantri & Muhidin M. Dahlan, Lekra Tak Membakar Buku (Jogjakarta: Merah Kesumba, 2008), hal. 32

[73] op.cit., Anak, hal. 206

[74] Pamela Allen, Membaca, dan Membaca Lagi: Re Interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995 (Yogyakarta: Indonesia Tera, 2004), hal. 38

[75] op.cit., Anak, hal. 261

[76] op.cit., Sukarno, hal. 264

[77] Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah (Jakarta: Hasta Mitra, 1985), hal. 118

[78] ibid., hal. 123

[79] op.cit., Anak, hal.254

[80] op.cit., Jejak, hal. 189

[81] ibid., hal. 191

[82] ibid., hal. 192

[83] ibid., hal. 193

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top