
Pemerintahan Prabowo-Gibran sudah melampaui hari ke-100 nya. Sederet permasalahan pun bermunculan. Mulai dari menggemuknya jumlah kabinet, gas LPG 3 Kg yang langka, Dosen ASN Kemendikti Saintek yang tunjangan kinerjanya belum dibayarkan, ASN Kemendikti Saintek melakukan demonstrasi karena kelakuan materinya, kriminalisasi rakyat Rempang, carut marut pagar laut, pemangkasan APBN yang berujung pemecatan pegawai di beberapa instansi, penolakan program makan bergizi gratis di Papua yang berujung kekerasan, hingga simsalabim pengesahan UU Minerba.
Dengan penerapan kebijakan yang seakan cek ombak—jika tidak ada yang protes, maka program lanjut—semua seolah berada di ambang ketidakpastian. Rakyat seolah dibuat bingung dengan ke(tidak)bijakan dan ruwetnya masalah negara ini. Beberapa orang juga mulai hilang harapan hingga ingin #kaburajadulu.
Namun demikian, ada satu hal yang pasti, yaitu menguatnya pengaruh militer dalam tubuh pemerintahan. Mulai awal tahun ini, pelan namun pasti, militer aktif mulai menempati jabatan-jabatan strategis. Selain itu, mereka juga ditugaskan untuk mengawal program Asta Cita Prabowo-Gibran. Berikut adalah lini masa keterlibatan TNI per awal tahun ini.
Hulu Ke Hilir Operasi Pangan
Sejak 6 Januari 2025, TNI turut dilibatkan dalam pengawasan makan bergizi gratis dengan tiga aspek tugas: logistik, operasi, dan evaluasi. Seperti yang disampaikan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI pada Kompas.com 351 Komando Distrik Militer (Kodim), 14 Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal), dan 41 Landasan Udara telah disiapkan untuk mendukung program tersebut.
Pengerahan tentara untuk distribusi makan bergizi gratis ini secara besar-besaran dilakukan di Papua. Namun, pelajar Papua justru menolaknya dengan melakukan aksi demonstrasi di berbagai wilayah, seperti di Wamena, Tolikara, Yalimo, Yahukimo, Intan Jaya, Dogiyai. Menurut para pelajar, sekolah gratis lebih penting dari makan siang gratis. Para pelajar juga mengeluhkan kehadiran TNI dalam pemberian makanan karena di daerahnya rawan konflik. Makan bergizi gratis dengan nasi sebagai makanan pokoknya juga menguatkan politik beras yang menggeser sagu sebagai makanan pokok orang Papua.
Program Strategis Nasional (PSN) yang masih bermasalah di periode Jokowi juga mulai gegas diselesaikan. Pada 13 Januari 2025, Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Pratama melakukan rapat koordinasi. Rapat itu membahas kelanjutan Rempang Eco City, PSN yang mengancam 16 kampung adat Melayu dan 7.500 jiwa penduduk Pulau Rempang. Rencananya pulau itu akan dijadikan pusat industri, perdagangan, hingga wisata integrasi untuk bersaing dengan negara jiran.
PT Makmur Elok Graha (MEG) sebagai pemenang tender proyek itu tak segan menggunakan preman untuk melawan warga. Pada 17 Desember 2024, warga menangkap satu pelaku pengrusakan poster penolakan PSN yang diduga dilakukan kaki tangan PT MEG. Malamnya, puluhan petugas keamanan PT MEG menyerang warga dengan berbagai senjata. Namun, pada 18 Januari 2025, justru tiga warga Rempang dikriminalisasi dengan pasal perampasan kemerdekaan orang lain.
Terlebih keterlibatan TNI dalam konflik ini akan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM di kemudian hari. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menjelaskan bahwa keterlibatan tersebut bertentangan dengan peran dan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan untuk penangkal setiap ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan yang diatur dalam Pasal 5 dan 6 ayat (1) huruf a UU TNI.
Keterlibatan TNI dalam menghadapi konflik, alih-alih menyelesaikan masalah sesuai dengan tujuan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), justru kerap menimbulkan ketakutan dengan menggunakan kekerasan kepada warga dalam aksinya. Dalam hal ini, tak perlu ditanyakan lagi kepada siapa keberpihakan TNI.
Pada 21 Januari 2025, Prabowo meneken Peraturan Presiden No 5 tahun 2025 tentang penertiban kawasan hutan. Peraturan tersebut bertujuan untuk menertibkan tata kelola kegiatan pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain di kawasan hutan. Untuk menjalankan penertiban itu, dibentuklah Satuan Tugas (Satgas) yang diketuai langsung oleh Menteri Pertahanan. Sedangkan Panglima TNI, Jendral Agus Subiyanto, kebagian menjadi Wakil Ketua II. Di sisi lain Menteri Kehutanan, hanya kebagian menjadi anggota saja.
Peran militer dalam penertiban hutan ini, menimbulkan kekhawatiran akan penyalahgunaan kekuatan. Terlebih jika prajurit dikerahkan untuk mengeksekusi pemukiman, kebun, dan ladang warga yang ada di kawasan hutan. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Beragam konflik yang dikawal militer justru menimbulkan banyak korban di pihak warga, seperti yang terjadi pada program Food Estate di Merauke, Pengamanan PT Inexco Jaya Makmur di Sumatera Barat, dan kekerasan pada konflik Wadas di Jawa Tengah.
Memasuki bulan ke dua, Prabowo menghadiri rapat pimpinan TNI AD pada 3 Februari 2025 untuk memberikan arahan dalam ketahanan pangan. Dalam rapat tersebut juga membahas tentang intruksi Panglima TNI mengenai pengelolaan lahan tidur. TNI AD akan memaksimalkan penggunaan lahan-lahan yang dimiliki PTPN, perhutanan, dan sektor lainnya.
Dua hari berselang, pada 5 Februari 2025, TNI AD mengumumkan penambahan jumlah personel yang ditugaskan di 100 batalyon infanteri teritorial demi mendukung program terkait swasembada pangan. Namun, dalam praktiknya sejauh ini, kebijakan lumbung pangan atau food estate dengan keterlibatan militer selalu gagal dalam penerapannya. Terlebih kebijakan pangan di tangan militer ini, berpotensi menimbulkan konflik agraria. Bukanlah hal mustahil, perampasan tanah rakyat dilakukan dengan dalih “kepentingan pembangunan” dan “atas nama undang-undang”. Malah Polisi juga ikutan melakukan rekrutasi bintara untuk membantu mewujudkan ketahanan pangan.
Kuasa militer atas pangan tak hanya pada operasi lapangan saja. Pada 7 Februari 2025, Menteri BUMN, Erick Tohir melantik Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Perum Bulog. Masalah muncul karena Novi Helmy adalah anggota TNI aktif yang menjabat di ranah sipil. Walaupun Kepala Staf TNI AD (KASAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak mengkonfirmasi bahwa Novi Helmy telah berhenti dari TNI bersamaan dengan pengangkatannya menjadi Dirut Bulog.
Namun, hal yang mendasari pengangkatan Novi Helmy adalah nota kesepakatan yang sudah ditandatangani oleh TNI dan BUMN. Mantan Kepala Seksi Intelijen Kopassus dan bidang pembinaan Babinsa itu dianggap berkompeten untuk menjaga ketahanan pangan nasional.
Hubungan antara TNI dan Bulog tidak hanya terjadi kiwari saja. Pada orde baru, Bulog menjadi sumber dana pengumpulan dana bagi militer. Melalui penyelidikan resmi oleh Komisi Empat yang meneliti korupsi pada tahun 1970, Bulog tidak pernah memberikan laporan terkait kredit dan transaksi keuangan lainnya. Kondisi ini membuat Bulog menjadi lahan basah dan pusat korupsi bagi perwira militer yang menjadi pimpinannya.
Ketahanan pangan tentu memiliki sangkut paut dengan piranti memasak. Sayangnya, LPG 3 Kg sebagai sumber api utama dapur masyarakat mengalami kondisi langka. Hal itu dampak dari keputusan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menyetop penjualan LPG melon secara eceran. Masyarakat dapat mendapatkannya di pangkalan resmi yang telah terdaftar di Pertamina.
Kebijakan itu dikeluarkan agar distribusi LPG subsidi tepat sasaran. Namun, kebijakan itu nampaknya kurang tepat. Pasalnya banyak warga yang mengeluhkan harus menempuh jarak untuk mencapai pangkalan. Antrian yang panjang bahkan membuat nenek di Pamulang harus berpulang.
Dari sengkarut masalah LPG ini, pada 7 Februari 2025, panglima TNI menginstruksikan Bintara Pembina Desa (Babinsa) untuk mengawal penjualan gas LPG hingga ke pengecer. Tujuan utamanya adalah meredam gejolak kepanikan atas kelangkaan gas LPG di masyarakat sembari melakukan sosialisasi dan pendataan. Geliat TNI soal pangan ini begitu kuat. Dari lahan, pendistribusian, hingga dapur warga.

Hilangnya Legitimasi Efisiensi
Selain soal pangan, permasalahan yang terjadi di awal pemerintahan Prabowo-Gibran adalah pemangkasan anggaran sebesar Rp 306,69 Triliun. Hal itu berdampak pada beberapa kementerian yang harus melakukan penghematan ekstrim. Listrik, lift, bahkan wifi harus dikurangi penggunaannya. Bahkan untuk rapat menggunakan Zoom Meeting, per 40 menit harus membuat room baru karena tidak premium.
Efisiensi juga berdampak pada tenaga honorer yang harus di PHK. Seperti di Jember 16 tenaga penjaga palang pintu kereta api, Pewarta TVRI Yogyakarta, penyiar RRI Ternate, dan ribuan tenaga honorer lainnya yang terancam imbas efisiensi. Situasi ini memuat sebuah ungkapan yang terdengar getir “anak mendapat makan siang gratis, tapi ketika pulang ayah ibunya tidak bisa memberikan makan malam karena sudah di PHK”.
Di tengah sengkarut efisiensi ini, pada 11 Februari 2025, Kementerian Pertahanan melantik lima staf khusus. Pasalnya, Kemenhan bukanlah kementerian yang terdampak efisiensi. Walaupun pada akhirnya ada semacam “solidaritas” antar kementerian sehingga mereka juga dipangkas anggarannya sebesar Rp 26,99 Triliun dari total anggaran Rp 166,2 Triliun.
Gembar-gembor Prabowo di berbagai panggung tentang efisiensi tak memiliki legitimasi moral yang kuat. Pasalnya jumlah kementerian di bawah pemerintahannya menjadi yang terbanyak pasca reformasi. Selain itu, beberapa kunjungan ke luar negeri beliau juga difasilitasi dengan fasilitas mewah.
Kembalinya Dwi Fungsi Militer
Reformasi 1998 membuahkan hasil dengan dihapuskannya dwi fungsi ABRI. Dengan dwi fungsi, militer memiliki dua fungsi, yaitu sebagai kekuatan militer dan pemegang kekuasaan dan aparatur negara. Artinya, di masa orde baru militer memiliki kekuatan absolut. Dampak yang terjadi saat itu adalah tidak ada kebebasan berorganisasi, pemberedelan media di mana-mana, pengawasan ala panoptikon hingga ke desa, pengebirian partai politik non pemerintah/militer, dan merajalelanya praktik korupsi, kolisi, dan nepotisme. Selain itu, demokrasi menjadi hal yang pelik. Pasalnya moncong senjata tak akan pernah bisa diajak diskusi.
Watak militer di era orde baru khas sifat Militer Praetorian, pengawal pasukan kaisar era Romawi yang tunduk atas otoritas pimpinan komando. Melingkari kekuasaan dan mendapat kesempatan istimewa untuk menjalankan aktifitasnya. Militer dapat masuk dalam politik, masuk dalam ekonomi demi memastikan otoritas komandonya terjaga. Sehingga militer mendapat pengakuan unggul di segala bidang. Demikian bagaimana serdadu-serdadu di era orde baru memiliki kedudukan tidak saja dibidang pertahanan tetapi ekonomi dan politik. Sialnya watak ini menurun dan hendak dipatenkan dalam era pemerintahan sekarang.
Perlahan namun pasti, dwi fungsi mulai dibangkitkan lagi sejak periode kedua Jokowi. Berdasarkan data dari Koalisi Sipil Tolak Revisi UU TNI, pada 2023 terdapat 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil, di mana 29 prajurit di antaranta merupakan perwira aktif. Pada pertengahan tahun 2024, terdapat dua pasal dalam UU TNI yang diubah. Pasal 47 dan 53 ditambahkan klausul “Kementerian dan lembaga yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”. Artinya, sesuai dengan seizin presiden, militer boleh menempati jabatan sipil tanpa meninggalkan jabatan militernya.
Lebih lanjut praktik militer masuk di ranah politik membuat ketidakpastian tugas dan fungsinya. Misal saja penempatan Kapolri yang memotong 5 angkatan diatasnya. Begitupun KSAD memotong 3 angkatan sebelumnya. Ini berimplikasi pada transaksi politik dan memberi peluang bagi angkatan yang dapat “meja kosong” di ranah publik.
Upaya percepatan Revisi UU TNI ini terus digenjot oleh pemerintahan yang baru. Pada Kamis, 13 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto, mengirimkan surat presiden kepada DPR RI untuk segera merevisi UU TNI. Surat ini menjadi sinyal kuat bahwa Prabowo yang seorang mantan jendral itu, berusaha keras membangkitkan kembali dwi fungsi militer. Terlebih, usaha-usaha untuk memiliterkan jabatan sipil juga dilakukan dengan retreat kementerian dan kepala daerah di Akademi Militer, Magelang.
Dengan daya upaya tersebut, segala masalah di Indonesia seperti menemukan jawaban pragmatisnya, yaitu pelibatan militer di segala lini. Cengkraman militer terhadap Indonesia akan lebih efisien dengan komando dan kontrol.
Penulis : Rona Arunika
Editor : Redaktur