Perdebatan penting atau tidaknya sebuah negara berdaulat dalam era disrupsi teknologi menyeruak setidaknya 10 tahun terakhir. Kondisi terbalik ternyata hidup pada gagasan politik 10 tahun terakhir pula. Kemunculan populisme berwatak konservatif menjadi wajah baru politik di Indonesia, bahkan dunia. Keberadaan negara yang kerap dipandang tidak kompatibel dengan kewajiban rakyat membayar pajak ditengah situasi sulitnya ekonomi belakangan. Bertengger gagahlah hastag #Indonesiagelap melanjutkan #kaburajadulu dan hastag-hastag sebelumnya yang lahir dari kegelisahan atau bahkan pesimisme orang-orang pada negara.
Perdebatan Trump dan Zelensky menurut saya menjadi cukup unik, menggambarkan secara paripurna pesan dan pendekatan dunia menjalankan kehidupan sehari-hari. Jika Anda mengikuti perdebatan Zelensky dengan Trump-Vance sebagai tarik menarik kepentingan dimana National Interest (kepentingan nasional) menjadi utama. Ukraina yang menghadapi invasi Rusia meneriakkan SlavaUkraina, sedangkan USA menghadapi krisis ekonomi mendorong MAGA (Make America Great Again) sehingga narasi dalam perdebatan tersebut mengedepankan kepentingan nasional alih-alih solusi masalah konflik.
Di Indonesia sendiri, sedang terjadi tarik-menarik pendekatan nasionalisme dalam kancah politik. Tentu saja selain berdampak ke aktivitas politik kebijakan juga berdampak pada sisi ekonomi. Narasi besar Indonesia Emas 2045, pengabdian pada bangsa, kepentingan asing untuk pecah belah bangsa dan negara juga jargon-jargon nasionalisme lainnya.
Sekalipun di permukaan tampak ada konflik besar, saling sandera, akan tetapi didalam pendekatan lainnya masih sama. Mengatasi masalah dengan pendekatan bisnis, “monetasi masalah”. Mengkapitulasi setiap keadaan bernilai uang sehingga dapat menghasilkan pertumbuhan. Memang begitulah jika kita hidup dalam sistem yang serakah. Krisis dalam ekonomi kapitalis masih terus bertahan hingga saat ini.
Jika melihat suasana saat ini, negara menjadi entitas yang ringkih di dalam sistem sosial sekarang. Sekali tidak tepat mengelola konflik sosial, berpotensi mendorong disintegrasi sosial. Kesulitan ekonomi rakyat akibat semakin tidak terdistribusinya akumulasi modal secara global dan nasional. Entitas negara mulai bersaing dengan entitas bisnis. Secara global kapital mengalami kebuntuan, sekitar $100 Triliun dikelola oleh paling tidak 17 perusahaan yang terbesar seperti Blackrock $10 T. Di Indonesia terdapat pula kaum “1%” yang total kekayaannya setara dengan 46,6% kekayaan rakyat Indonesia. Sedangkan ekosistem Indonesia untuk menjadi negara yang makmur tidak kunjung terang.
Indonesia Emas yang direncanakan masih tidak memberikan kejelasan apa saja yang menjadi prioritas utama Indonesia. Dalam rencana hanya menjelaskan transformasi di beberapa bidang, namun subjek utamanya tidak terjelaskan. Pesan yang terlihat adalah mendorong investasi semakin ramai masuk ke Indonesia. Begitupun setelah pergantian pemerintahan sekarang. Empat isu utama soal hilirisasi, pangan, energi, dan kemiskinan jadi tema utama. Transformasi yang didorong adalah partisipasi ruang bisnis semakin luas dalam mega proyek itu. Sedangkan pada satu sisi, keluhan dari pebisnis adalah soal keterampilan manpower (SDM) tetapi ekosistem tidak tersedia sama sekali.
Indonesia Merdeka atau Koloni Baru
Menuju 100 tahun Indonesia merdeka, kenyataannya rakyat belum sejahtera, belum makmur dan belum mengalami keadilan sosial terpampang di realitas sosial sehari-hari. Kesulitan mendapatkan sumber penghidupan baik sebagai pekerja, petani, nelayan, peternak, dan sektor produksi lainnya nyata dialami. Terutama wilayah yang jauh dari akses perkotaan. Ekosistem ekonomi yang terpaksa mengimbangi ekonomi komoditas tidak dapat bersaing, uang yang beredar sedikit di luar pulau jawa, sehingga pedesaan daerah pinggiran sulit mendapatkan kesejahteraan.
Menjadi maju secara ekonomi, dengan jurus investasi dari luar terbukti gagal setelah reformasi. Alih-alih kita mendapatkan bonus ekonomi dari liberalisasi setelah 1998, malah terjebak pada konflik komprador di daerah-daerah otonomi. Sehingga industrialisasi tidak terbangun, dan akses tanah tidak terdistribusi bagi yang membutuhkan dan pendidikan juga semakin mahal. Sekarang setelah disrupsi teknologi, kebutuhan atas sumber mineral jarang/kritis seperti nikel, bauksit, tembaga menjadi rebutan di pasar global. Indonesia ingin mengambil peluang ini menjadi negara yang dapat mengambil keuntungan di rantai pasok global.
Teringat sebuah brosur lawas dari Roestam Effendi, sastrawan progresif dan tokoh perlawanan di era kemerdekaan. Sempat menulis “Akal-akal dan muslihat kapitalistis untuk mengatasi kesulitan krisis. Yang dipentingkan oleh si borjuis ialah untung mereka. Segala apa yang dipikirkan dan diusahakan oleh mereka dalam waktu krisis ialah secara bagaimana untung mereka jangan terganggu, jangan sampai menjadi merosot kebawah. Inilah dasar dari segala peraturan, dan hukum krisis, yang diperbuat oleh kaum kapitalis atau pemerintah (asal negara) mereka. ……..III. Kita terdesak oleh konkurensi dari luar negeri,…..Ini digemborkan biasanya seperti ’proteksionisme’, untuk menolong ‘industri nasional’ akibatnya? rakyat membeli barang-barang luar negeri dengan harga mahal.
Koloni baru untuk mendapat bahan baku teknologi terkini menjadi tantangan keberadaan negara. Koloni dari ekspansi modal untuk era baru masuk membajak prinsip kelestarian lingkungan melalui pengenaan standar-standar pada skema bisnis. Termasuk yang sekarang sedang terjadi pada indonesia. Dikte atas standar ini merupakan prasyarat otoritas ekonomi mengambil manfaat dari daerah ekstraktif seperti di Indonesia. Sayangnya, pemerintah indonesia dengan kebijakan pragmatisnya mengambil pekerjaan dan diberikan ke perusahaan di Indonesia untuk mendapat untung. Pragmatisme ini tidak menghitung kendali yang bisa muncul akibat otoritas atas pembiayaan, lisensi permesinan, lisensi teknologi dan standar pasar.
Seperti halnya Amerika saat ini, mendorong perdamaian dengan pendekatan investasi bisnis. Di Gaza ditawarkan untuk proyek rekonstruksi dengan meminta penduduk dari tanahnya; di Ukraina meminta perdamaian dengan kesepakatan pengelolaan dan industrialisasi mineral kritis Ukraina. Sehingga pendekatan watak kolonialisme mengikut dalam pola diplomasinya. Menentukan apa yang terbaik untuk negara lain, agaknya memang mendarah daging bagi negara-negara imperium. Indonesia sebagai sebuah bangsa perlu cermat dan teliti mengambil keputusan, satu-satunya pendekatan yang mengupayakan pertumbuhan ekonomi 8% akan sangat high risk.
Ekosistem industrinya belum terbangun, masuk dalam rantai pasok global akan menjadi prakondisi guillotine bagi rakyat yang miskin. Keuntungan bagi kroni-kroni kapitalis yang kerap pesta pora dengan ikatan politik dan ekonomi sebagai penguasa.
Konflik Antara yang Kaya dan Miskin
Memaki pemerintahan saat ini agaknya tak akan menyelesaikan masalah. Tapi masalah yang kerap muncul kepermukaan membuat overthinking atas semua keadaan yang terjadi. Apakah memandangnya sebagai kesalahan personal atau memang ini sebuah sistem yang telah pakem. Perdebatan di dalam media sosial sebagai ruang interaksi era disrupsi ini sangat kental akan penggiringan opini. Membangun opini berbeda atas otoritas “massal” di media sosial perlu dikemukakan saat ini.
Pendekatan yang hampir tidak tersedia adalah melihat problem saat ini sebagai masalah struktural yang membuat pembagian kelompok sosial antara si kaya, dan si miskin. Keadaan struktural ini sebenarnya sudah dikenali oleh rakyat. Istilah si kaya semakin kaya, si miskin semakin miskin, atau malah legitimasi di bangku sekolahan soal ekonomi adalah mencari untung dengan uang sedikit tetapi laba sebesar-besarnya. Pendekatan ini adalah cara berpikir yang harus disebarluaskan. Kita bisa melihat sejak reformasi. Pendalaman krisis dalam kehidupan sosial masyarakat semakin kuat. Kasarnya saya boleh hipotesiskan rakyat Indonesia hidup tanpa memiliki cadangan keuangan yang layak. Semua hampir hidup karena utang, baik utang ke bank atau utang ke lainnya bahkan pinjol (pinjaman online).
Konflik horizontal yang masif hampir dapat dikatakan sedikit terdengar. Kebanyakan adalah konflik antara rakyat dengan pengusaha, dan rakyat dengan penguasa. Mereka yang miskin berlawanan dengan mereka yang kaya. Masalah LPG, masalah efisiensi APBN, korupsi di BUMN adalah keadaan struktural yang oleh kebanyakan rakyat miskin sebagai kaum buruh belum dapat dimengerti. Mereka hanya mendengar dan melihat ada Rp.271 T kerugian negara akibat BUMN timah, ada Rp 900 T kerugian negara akibat Pertamina oplos minyak dan kerugian-kerugian negara lainnya.
Di publik belum banyak dibicarakan adalah negara sebagai entitas persatuan subyek-subyek sosial berkewajiban memberi distribusi kekayaan negara kepada rakyatnya. Bukan sekedar memberi bantuan sosial (Bansos) atau subsidi. Namun memastikan jangkauan kepada ruang-ruang berbasis ekonomi seperti ke perusahaan BUMN dibuka secara demokratis. Kendali rakyat sudah hilang digantikan kendali politik dari pelaku-pelaku politik.
Rakyat miskin yang hidup menjadi tumbal dari kebijakan pro investasi. Mengapa demikian? demi akal dan muslihat mendapat untung, mereka memberikan kemudahan dengan mengubah aturan-aturan tetapi menutup ruang kontrol terbuka yang disahkan oleh konstitusi. Sehingga semua pendekatannya adalah demi bisnis dan modal dibalut narasi bangsa-negara.
Nasionalisme tanpa kemanusiaan hanya akan menjadi topeng bagi kejahatan chauvinis. Indonesia yang lahir dari realitas anak-anak muda berintelektual yang meneriakkan perjuangan menuju Republik Indonesia bukanlah indonesia untuk sekelompok orang, pulau tertentu, suku tertentu, agama tertentu dan identitas lainnya.
Nasionalisme Indonesia harus dihidupkan dalam kebangkitan kaum yang hidup atas keringat dan kerja keras tangannya untuk mebangun industri, membangun pertanian, dan sumber penghidupan lainnya yang dikelola secara bersama-sama. Penguasa yang berpihak pada mereka yang semakin kaya sudah harus dikalahkan. Agar Indonesia sebagai sebuah negara tetap ada disetiap pikiran rakyatnya. Tanpa pikiran bersama bahwa Indonesia masih ada, maka negara ini suatu saat akan sirna.