Tiga Jalan Kaum Miskin Menuju Kemenangan!

Kawan-kawan revolusi. Karya Sudjojono (https://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/s-sudjojono)

Ada tiga jalan yang bisa ditempuh.  Dalam menguraikan tiga jalan tersebut penulis akan menggunakan pemaparan yang digunakan oleh Pramoedya Ananta Toer—sastrawan terbesar Indonesia.  Menurut Pramoedya,  ada tiga macam revolusi agar kaum miskin bisa terbebas dari segala beleunggu.

Pertama, revolusi berwujud perjuangan fisik. Tokoh rekaan dalam karya Pramoedya, khususnya dalam masa-masa revolusi kemerdekaan seperti dalam Perburuan, Di Tepi Kali Bekasi, Dendam, Keluarga Gerilya, Mereka Yang Dilumpuhkan, terlibat dalam sebuah perjuangan yang berbentuk revolusi fisik melawan kolonialisme yang membelenggu bangsa Indonesia. Lewat tokoh-tokohnya tersebut Pram ingin mengatakan bahwa kemerdekaan bukanlah suatu barang gratisan yang bisa diperoleh begitu saja, melainkan harus diperjuangkan bahkan sering meminta pengorbanan yang paling besar yang dimiliki oleh manusia.

Revolusi kedua, yaitu revolusi sebagai perjuangan batin. Revolusi dalam makna ini, menurut Pramoedya, adalah sebuah revolusi yang harus bisa mengubah jiwa manusia dari jiwa yang terjajah menjadi jiwa yang merdeka. Revolusi jiwa ini meliputi perjuangan manusia untuk memperoleh keadilan, bebas dari ketakutan, dan memiliki kesamaan hak, sehingga bisa lahir menjadi manusia yang benar-benar merdeka jiwanya.

Adapun revolusi ketiga yaitu revolusi sosial. Dalam pemikiran Pramoedya, keadaan masyarakat perlu diubah melalui sebuah revolusi sosial. Yaitu, mengubah tatanan masyarakat yang menindas menjadi masyarakat yang membebaskan. Ini berarti, revolusi pembebasan nasional saja tidak cukup. Menurutnya, revolusi pembebasan nasional belum bisa menghasilkan sebuah perubahan yang bersifat fundamental, yang kemudian untuk selanjutnya dapat mengubah Indonesia menjadi rumah kemanusiaan yang diharapkan—hanya bersifat reforisme belaka. Dalam tulisan yang berjudul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Pram mengatakan dibutuhkan sebuah revolusi proletariat untuk menyempurnakan revolusi pembebasan nasional. Tujuan revolusi ini adalah merebut alat produksi dari tangan borjuasi sehingga bisa mengubah masyarakat kapitalis yang menghisap menjadi masyarakat sosialis yang membebaskan.

Bagi Pram, ketika revolusi berjalan secara dialektik—dan apabila ketiga revolusi ini berhasil—maka akan terciptalah rumah kemanusian yang ideal, yaitu sebagai rumah yang bisa menaungi manusia tanpa adanya penindasan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, yang diatapi oleh kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan, yang berdiri di atas dunia baru: dunia yang dibangun di atas landasan keadilan yang merata.

Dengan tiga jalan di atas tersebut maka manusia/bangsa akan mencapai satu tujuan: kemerdekaan.

Bagaimana dengan jalan parlementer? Jalan parlementer sama dengan kisah Musa dalam Bible maupun al Qur’an. Ketika Musa terusir dari Mesir konon kabarnya Tuhan menjanjikan pada Musa dan kaumnya “tanah yang dijanjikan”, yaitu Yerusalem. Adanya janji tersebut membuat pengikut Musa rela menempuh marabahaya dan berjalan ratusan kilometer untuk melakukan eksodus dari Mesir menuju “tanah yang dijanjikan”.

Jalan parlementer juga seperti “tanah yang dijanjikan”. Kondisi kekuatan-kekuatan politik berlawan yang patah arang (demoralisasi) membuat mereka membutuhkan harapan baru berupa jalan parlementer—yang dengan jalan ini mereka berharap dapat mencapai segala sesuatunya. Di satu sisi jalan keluar ini memenang mampu menghasilkan suatu harapan baru, tetapi harapan ini justru menjerumuskan mereka keliang kubur karena hanya merupakan ilusi—sebagaimana manusia yang berbuat kebaikan mengilusikan mendapat surga yang di dalamnya terdapat bidari-bidari yang terus-menerus perawan, maka manusia seperti ini menurut seorang sufi kenamaan Baghdad (Irak), Rabi’ah Adawiyah, hanya akan mendapatkan kesia-siaan, maka ia bermaksud membakar surga agar manusia tak tertipu lagi, Rabiah juga mengajukan satu pertanyaan yang menarik, “Apakah kalau tak ada iming-iming surga engkau masih mau menyembah Tuhan, wahai Saudaraku? Dalam konteks kekinian pertanyaan tersebut bisa diubah, “Apakah kalau tidak ada iming-iming parlemen engkau masih mau berjuang, wahai kawanku?” Inilah dampak dari jalan parlementer: munculnya ilusi di antara kekuatan-kekuatan politik yang berlawan. Akibat tersebut masih bisa ditambah dengan munculnya makelar politik dan koruptor serta dampak-damak negatif  lainnya.

Sedangkan bagi perkembangan politik yang luas jalan parlementer tidak mengajarkan apa-apa  bagi massa rakyat. Selama ini massa rakyat sudah teracuni kesadarannya (terhegemoni) bahwa perubahan hanya bisa ditempuh dengan jalan parlementer—sebagai jalan yang paling demokratis bagi ukuran borjuasi—maka akan semakin teracuni dengan pilihan politik kekuatan-kekuatan yang berlawan, mereka pun tidak lagi bisa melihat jalan alternatif—karena guru mereka mengkhianati jalannya sendiri.

Bila menilik ke belekang, dalam sejarah Indonesia jalan parlementer ini sudah ditempuh oleh kekuatan politik yang berlawan ketika itu, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Strategi mereka ini memang berhasil memperluas struktur ke wilayah-wilayah yang sebelumnya sulit dicapai, namun struktur yang mereka hasilkan ini merupakan struktur tulang rawan yang mudah dipatahkan oleh kekuatan kontrarevolusi. Dan, takdir sejarah pun telah mencacat bahwa mereka—PKI dan kekuatan-kekuatan politik yang berafiliasi dengannya—hancur dan tak mampu bangkit lagi. Kalaupun mau mengambil nilai-nilai positif yang bisa didapat dari sejarah PKI tersebut adalah kemampuan mereka dalam memperluas struktur—yang seandainya mereka tidak menempuh cara-cara yang pragmatis, tentu saja struktur mereka akan kuat—selain hal tersebut apa yang dihasilkan PKI hanya sampah dan ampas.

Saat ini yang dibutuhkan massa rakyat saat ini adalah cara dan jalan yang benar untuk mengapai kebebasan. Fakta-fakta yang terekam selama ini menunjukkan bahwa mereka sebetulnya mempunyai energi yang besar untuk melawan, tetapi mereka tidak mengetahui cara dan jalan yang benar. Untuk itu kekuatan-kekuatan politik yang berlawan perlu mengajarkan cara dan jalan yang benar tersebut, sehingga massa rakyat sadar bahwa bukan cara dan jalan parlementer yang bisa melepaskan mereka dari belenggu ketidakmandirian, tetapi revolusi-lah—revolusi dalam konteks ini adalah ketiga macam revolusi yang telah dipaparkan di atas— yang bisa membebaskan.***

Ditulis oleh: Dika Moehamamd

Penulis, Sekretaris Nasional Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Periode 2022-2027

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top