Belajar dari Kekalahan, Menimbang Ulang Strategi Perlawanan

Dalam halaman awal If We Burn, Vincent Bevins mengajukan pertanyaan besarnya: “Bagaimana mungkin begitu banyak gerakan protes massa justru menghasilkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang mereka tuntut?” (Bevins, 2023, hlm. 3). Pertanyaan tersebut berangkat dari analisisnya terhadap gelombang demonstrasi pada medio 2010-an di berbagai negara seperti Mesir, Brasil, Turki, dan Hong Kong, yang justru berujung pada kemunduran demokrasi, bahkan kebangkitan kekuatan otoriter. Menurutnya, banyak dari gerakan tersebut bersifat spontan, tanpa kepemimpinan atau struktur organisasi yang jelas, sehingga dibajak oleh kekuatan lama. Akibatnya, momen kekosongan kekuasaan yang seharusnya menjadi peluang perubahan, justru diisi kembali oleh militer, elit lama, atau aktor populis sayap kanan. Tentu terdapat beberapa pengecualian, antara lain di Chile, yang mana gerakan massa mampu mendorong perubahan kearah yang diharapkan atau paling tidak mendekati, karena ditopang oleh organisasi dan strategi politik yang lebih terstruktur.

Dalam konteks Indonesia, selama satu dekade terakhir juga mengalami gelombang demonstrasi besar, yang terbesar sejak Reformasi. Di antaranya Aksi 212, Reformasi Dikorupsi, demonstrasi menolak Omnibus Law, Peringatan Darurat Garuda Biru, hingga aksi Indonesia Gelap dan menolak revisi UU TNI. Meski mengerahkan energi perlawanan yang sangat besar, hampir seluruh aksi ini gagal mendorong perubahan struktural dalam politik nasional. Bahkan, tuntutan-tuntutan utama yang memicu berbagai demonstrasi tersebut sebagian besar tidak terpenuhi, puncaknya ditandai dengan terpilihnya Prabowo sebagai presiden. Sebagai salah satu peserta dalam momen-momen perlawanan tersebut, hipotesis saya (atau intuisilah), salah satu faktor penting penyebab kegagalan ini adalah absennya organisasi dan strategi politik jangka panjang. Ketiadaan ini seringkali termanifestasi dalam pola-pola gerakan yang kini dominan.

Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, gerakan massa kerap mengadopsi bentuk-bentuk rhizomatik sebagaimana dikembangkan oleh Deleuze dan Guattari. Model ini mengusulkan pola desentralistik, spontan, tersebar, tanpa pemimpin atau menjauh dari struktur representatif yang hirarkis. Dalam kata-kata mereka “the rhizome is acentered, nonhierarchical, and nonsignifying system” (Deleuze & Guattari, 1987: 21). Artinya, pola gerakan ini berkembang bukan melalui garis komando atau representasi formal, melainkan melalui koneksi antar simpul yang otonom, setara, dan terus berubah (cair).

Bagi sebagian aktivis dan akademisi, hal ini dianggap lebih demokratis dan sulit direpresi. Sejumlah tulisan kontemporer dari kalangan akademisi dan aktivis mengapresiasi model rhizomatik sebagai bentuk perlawanan yang fleksibel dan lebih tahan terhadap represi negara, seperti yang dibahas oleh artikel di IndoProgress baru-baru ini dan di The Conversation (2025). Hal ini juga tercermin dalam orasi Ucok Homicide[1] (2025), yang menggambarkan lahirnya gerakan politik alternatif yang tumbuh organik di ruang-ruang warga. Gerakan ini tidak selalu hadir sebagai “politik dengan P besar” yang berurusan langsung dengan kebijakan negara, parlemen, atau institusi resmi. Sebaliknya, ia lebih menyerupai “politik dengan p kecil”—politik yang hadir dalam keseharian: koperasi pangan, perpustakaan jalanan, komunitas seni mandiri, hingga musyawarah warga digital. Semuanya lahir dari inisiatif akar rumput, dan beroperasi di luar kerangka partai maupun institusi negara. Politik semacam ini justru menjadi fondasi yang memungkinkan tumbuhnya solidaritas, kemandirian, dan keberlanjutan gerakan—yang tak mudah dibungkam meskipun tak selalu tampak di permukaan. Ucok menegaskan bahwa:

“Tak perlu menjadi besar. Kecil, menduplikasi diri, menjadi jamak, banyak, menyebar dan beragam jauh lebih penting.”

Dalam perkembangannya, bentuk politik macam ini tidak hanya tumbuh di ruang-ruang fisik warga, tapi juga menemukan ekspresinya di ruang digital. Intensitas mobilisasi massa dalam satu dekade terakhir di Indonesia juga tak lepas dari perkembangan teknologi digital yang sangat pesat. Pola mobilisasi yang bersifat rhizomatik —tanpa pusat, menyebar, dan saling terhubung secara horizontal—mampu menjangkau spektrum yang jauh lebih luas dibanding era sebelumnya. Interaksi cair di media sosial seperti Twitter, Instagram, dan TikTok memungkinkan keterlibatan tidak hanya dari kelompok aktivis atau mereka yang secara sadar telah memposisikan diri sebagai oposisi, tetapi juga dari komunitas-komunitas yang sebelumnya tidak terbayangkan ikut terlibat dalam politik jalanan. Kita masih ingat bagaimana akun-akun fanbase K-Pop mengutip puisi Wiji Thukul dan turut menyebarkan informasi ketika gelombang aksi menolak Omnibus Law merebak pada 2020.

Tentu, pola ini tidak sepenuhnya rhizoma dalam arti murni. Di balik viralitas dan mobilisasi instan, tetap ada kerja-kerja pengorganisiran yang lebih sistematis: pembagian tugas, penyusunan narasi kampanye yang terpusat, serta koordinasi lintas wilayah yang dilakukan oleh jaringan-jaringan gerakan secara terus-menerus. Namun, harus diakui bahwa pendekatan ini—gabungan antara spontanitas digital dan kerja kolektif yang terdesentralisasi—berhasil memobilisasi massa dalam momen-momen perlawanan tertentu.

Beberapa demonstrasi besar seperti Peringatan Darurat Garuda Biru, aksi Indonesia Gelap, dan penolakan terhadap revisi UU TNI menjadi contoh yang mencolok. Partisipasi massa dalam aksi-aksi ini bukan hanya mengejutkan aparat negara, tetapi juga mengejutkan banyak aktivis sendiri. Dalam waktu yang sangat singkat, tanpa konsolidasi fisik yang lazim dilakukan sebelumnya, mobilisasi mampu terjadi secara serentak melalui penyebaran e-flyer, ajakan dari akun publik, hingga unggahan viral yang memantik aksi serentak.

Efektivitas mobilisasi semacam ini memang mencerminkan daya jangkau dan kecepatan luar biasa. Namun, keberhasilan teknis dalam menciptakan momentum tidak selalu sebanding dengan kekuatan strategis jangka panjang. Mobilisasi yang meledak secara spontan sering kali tidak diiringi oleh pengorganisasian pasca-aksi yang intens, dan karena itu gagal mengartikulasikan arah politik jangka panjang yang jelas.

Kritik atas kecenderungan ini sudah pernah dikemukakan oleh Slavoj Žižek pada dekade silam, ia menyoroti bahwa banyak gerakan “progresif” masa kini justru terobsesi pada simbolisme dan horizontalitas, tetapi enggan menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana kekuasaan dapat dan harus dikelola secara radikal? Dalam salah satu wawancaranya, ia menyampaikan “all the best Marxist [progressive] analyses are always analyses of failure,” dan bahwa gerakan progresif kerap kali menempatkan diri dalam posisi reflektif atas kekalahan, bukan pada posisi produktif untuk membangun strategi kemenangan. Hal ini justru berisiko membuka jalan bagi kekuatan yang lebih terorganisir—sering kali kekuatan reaksioner seperti tokoh populis, militerisme, atau fundamentalisme sayap kanan.

Kalau ditarik pada konteks historis gerakan sosial di Indonesia, pola-pola rhizomatik semacam ini bukanlah hal baru. Praktik organisasi yang desentralistik, spontan, dan minim kepemimpinan formal telah menjadi ciri dari banyak gerakan mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil sejak awal 2000-an, bahkan sejak Orde Baru. Meskipun esensi pola perlawanan yang desentralistik tidak baru, konteks kontemporer berbeda dalam artikulasi teoritis serta bentuk dan skala praksis mobilisasinya yang kini mediasi teknologi digital.

Kritik ini dapat membantu menjelaskan mengapa banyak demonstrasi di Indonesia, seperti aksi Reformasi Dikorupsi, penolakan Omnibus Law, dan berbagai gelombang protes lainnya—meskipun masif dalam partisipasi, tapi gagal mengonsolidasikan kemenangan strategis. Sebaliknya, aksi seperti 212, yang dibangun dengan struktur organisasi yang lebih terpusat dan jaringan yang tertanam kuat, justru mampu menciptakan dampak konkret dalam struktur kekuasaan—terlepas dari arah ideologisnya yang problematik.

Fenomena ini menunjukkan bahwa energi politik yang besar namun tidak terinstitusionalisasi justru membuka ruang bagi kekuatan lama atau konservatif untuk melakukan rekuperasi agenda. Dengan demikian, penting untuk mempertanyakan: apakah gerakan rhizomatik, dalam konteks Indonesia, benar-benar merupakan bentuk emansipasi yang efektif—atau justru reproduksi dari kegagalan struktural yang terus berulang?

Pola Terorganisir Kini Ditinggalkan dan Dianggap Kuno?

Salah satu tantangan utama dalam membangun strategi politik jangka panjang terorganisir adalah menjawab kenyataan bahwa banyak aktivis muda dan simpul-simpul gerakan saat ini justru menghindari bentuk organisasi yang terstruktur dan permanen. Pola-pola lama seperti partai massa/kader, serikat buruh, atau organisasi massa dengan garis politik dan ideologis tertentu cenderung ditinggalkan, digantikan oleh jejaring longgar, kolektif temporer, dan kampanye digital berbasis afek. Kecenderungan ini tidak semata pilihan sadar, melainkan juga respons atas ketidakmampuan organisasi-organisasi yang lebih terstruktur dan bergaris politik jelas (termasuk yang mengklaim diri sebagai pelopor atau partai kader) untuk mentransformasi massa cair menjadi kekuatan terorganisir, alih-alih kerap berujung pada fragmentasi di media sosial atau terbatas pada diskursus intelektual. Ada beberapa faktor yang menjelaskan fenomena ini—baik dari sisi sejarah politik Indonesia, maupun melalui kerangka teori sosial yang lebih luas.

Pertama, krisis kepercayaan dan budaya individualisme menjadi faktor utama. Aktivis pasca-1998 menyaksikan bagaimana partai politik, LSM, serikat buruh, dan gerakan mahasiswa yang dulu progresif terserap ke dalam logika kekuasaan dan pasar, termasuk fenomena partai yang menjilat rezim. Ini menciptakan kesan bahwa organisasi formal hanya alat kompromi atau tangga karier, bukan wadah perjuangan sejati. Bersamaan, neoliberalisme[2] membentuk individu sebagai agen rasional yang senantiasa mengkalkulasi pilihan dalam setiap aspek kehidupan, sehingga kebebasan dimaknai sebagai kemampuan individu membuat keputusan efisien di “pasar pilihan.” Pandangan ini membentuk ilusi kebebasan individualistik yang mengaburkan dimensi struktural ketidaksetaraan. Dalam kerangka ini, organisasi yang menuntut keberpihakan, militansi, dan memiliki garis politik yang jelas dipandang berlawanan dengan kebebasan individu. Alhasil, banyak anak muda yang terlibat dalam gerakan sosial malah lebih memilih ruang-ruang aksi yang cair, temporer, dan bebas dari struktur formal.

Kedua, banyak yang keliru menyamakan politik ekspresi dengan emansipasi. Dengan hadirnya media sosial, siapa pun kini bisa tampil sebagai aktor politik di level mikro: menyebarkan narasi, membentuk kampanye, dan memicu aksi, semua tanpa harus melalui struktur komando atau organisasi formal. Situasi ini menciptakan ilusi bahwa perubahan dapat dicapai tanpa organisasi, padahal politik ekspresi jelas berbeda dari emansipasi. Mengutip Jodi Dean (2009, hlm. 19), “The circulation of personal expression as the main form of participation makes it difficult to organize collective political action.” Dalam praktik, ekspresi politik di media sosial justru mengarah pada “reflexive personalization,” sebuah bentuk keterlibatan yang mengutamakan afek dan performativitas individu daripada aksi kolektif.

Di saat yang sama, timbul sensitivitas tinggi di kalangan banyak aktivis (khususnya kaum muda) terhadap bentuk-bentuk kekuasaan, bahkan dalam gerakan mereka sendiri. Mereka menunjukkan kehati-hatian terhadap pemimpin karismatik, struktur hierarkis, dan bahkan mekanisme demokratis seperti keputusan mayoritas. Akan tetapi, Rodrigo Nunes (2021, hlm. 51) menegaskan, “structurelessness is not the absence of power, but the concealment of it.” Hal ini berarti bahwa alih-alih meniadakan kekuasaan, ketiadaan struktur justru menyamarkannya, sehingga berpotensi menjadikan kekuasaan tersebut lebih sulit dikenali, dikendalikan, dan dimintai pertanggungjawaban secara demokratis.

Ketiga, mandeknya imajinasi politik kolektif, sebuah persoalan mendasar berupa hilangnya proyek politik bersama. Tanpa visi kolektif jangka panjang, gerakan mudah jatuh pada siklus perlawanan reaktif.

Mari Kita Warisi Apinya dan Membuang Abunya

Mewujudkan perubahan sosial yang progresif dan berkelanjutan memerlukan lebih dari sekadar mobilisasi massa yang bersifat spontan dan emosional. Sejarah gerakan sosial dalam dua dekade terakhir menunjukkan bahwa tanpa infrastruktur organisasi yang kokoh dan strategi politik jangka panjang, energi kolektif yang meletup dalam protes cenderung menguap tanpa meninggalkan transformasi struktural yang berarti.

Sebagaimana disinggung Bevins dan contoh kasus Chile, kegagalan mengonsolidasikan perubahan seringkali berpangkal pada ketiadaan mekanisme reproduksi politik dan kelembagaan yang memadai. Keberhasilan transformasi di Chile, misalnya, justru menunjukkan peran vital keterlibatan serikat pekerja, partai politik, dan aktivis dalam ranah institusional, bukan semata-mata oleh protes.

Namun, hal ini tidak berarti kita harus terjebak pada formalisme struktural kaku. Justru, dalam ekosistem sosial yang kompleks dan terdiferensiasi, pendekatan lentur dan desentralistik, seperti model rhizomatik dan konsep multitude, tetap krusial sebagai pintu masuk perjuangan politik jangka panjang.

Beberapa contoh kontemporer menunjukkan keberhasilan sintesis antara struktur kelembagaan dan fleksibilitas gerakan semacam itu. Di Rojava, proyek demokrasi langsung yang menggabungkan prinsip-prinsip konfederalisme, ekologi sosial, dan kesetaraan gender telah membangun tata kelola politik alternatif berbasis dewan rakyat yang fleksibel namun terstruktur. Begitu pula La France Insoumise (LFI) di Prancis, yang beroperasi sebagai partai politik dengan struktur institusional, namun tetap menjaga keterbukaan terhadap mobilisasi akar rumput dan gerakan sosial yang lebih luas. Keduanya menunjukkan bahwa keberhasilan gerakan tidak terletak pada dikotomi antara atas dan bawah, tetapi pada kemampuan mengartikulasikan keduanya secara strategis.

Maka, strategi gerakan yang efektif hari ini bukanlah memilih antara struktur atau fleksibilitas, melainkan mengintegrasikan keduanya secara dialektis. Struktur organisasi dan agenda politik jangka panjang menyediakan kerangka yang memungkinkan gerakan mempertahankan daya dorongnya, sementara pendekatan rhizomatik dan formasi multitude memungkinkan adaptasi terhadap perubahan konstelasi sosial-politik dan dinamika akar rumput. Mengabaikan salah satunya justru memperlemah potensi transformasi.

Menolak menggunakan alat-alat perjuangan yang terbukti efektif berarti menyerahkan arena konflik kepada kekuatan lawan yang lebih terorganisir. Dalam kerangka inilah, ajakan untuk “mewarisi apinya dan membuang abunya” memperoleh makna strategis: perjuangan bukanlah dogma yang dibekukan, melainkan api yang harus dijaga agar terus menyala.

Kepustakaan

Becker, Gary S. 1976. The Economic Approach to Human Behavior. Chicago: University of Chicago Press.

Bevins, Vincent. 2023. If We Burn: The Mass Protest Decade and the Missing Revolution. New York: PublicAffairs.

Dean, Jodi. 2009. Democracy and Other Neoliberal Fantasies: Communicative Capitalism and Left Politics. Durham: Duke University Press.

Deleuze, Gilles, dan Félix Guattari. 1987. A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia. Diterjemahkan oleh Brian Massumi. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Hardt, Michael, and Antonio Negri. 2004. Multitude: War and Democracy in the Age of Empire. New York: Penguin Press.

Nunes, Rodrigo. 2021. Neither Vertical Nor Horizontal: A Theory of Political Organization. London: Verso.


[1] Jika dicermati lebih dalam, orasi Ucok tidak hanya mencerminkan pendekatan rhizomatik ala Deleuze dan Guattari: struktur non-hirarkis, menyebar, dan tidak memiliki pusat komando tunggal. Ia juga mengandung elemen-elemen multitude, sebuah konsep yang dikembangkan oleh Hardt dan Negri untuk menggambarkan subjek politik sebagai kolektivitas jamak yang mampu bertindak bersama meski tetap mempertahankan keragaman dan otonomi masing-masing. Sebagaimana mereka jelaskan, “The multitude is a multiple subject, differentiated within, which is not constructed and does not act from any principle of identity or unity (and still less of indifference), but from what is common to it” (2004,  21). Meskipun tidak sama, keduanya memiliki irisan secara ontologis.

[2] Neoliberalisme membentuk subjek manusia sebagai agen rasional yang senantiasa mengkalkulasi pilihannya dalam setiap aspek kehidupan, dari pendidikan hingga relasi personal. Tokoh seperti Gary Becker (1976: 14) mewakili pandangan ini, menyatakan bahwa “all human behavior can be viewed as involving participants who maximize their utility… in a variety of markets.” Model rasionalitas ekonomi ini, yang meluas ke bidang-bidang non-ekonomi, melegitimasi pergeseran seluruh aspek kehidupan ke dalam logika pasar dan cenderung mengaburkan dimensi struktural serta kolektif dari ketidaksetaraan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top