Pernyataan Sikap Kesatuan Perjuangan Rakyat pada Hari Tani Nasional 2025: Tanah, Kerja, dan Keadilan

Tidak ada tanah, kerja layak, dan keadilan untuk rakyat dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Setelah hampir berjalan 1 tahun setelah dilantik pada 20 Oktober 2024, Asta Cita yang disodorkan sebagai visi misi masih menjadi pertanyaan besar dalam pelaksanaannya. Terlihat, program Swasembada Pangan, Swasembada Energi, Hilirisasi, dan Pengentasan Kemiskinan menjadi prioritasnya. Tentu, motornya adalah kebijakan bertenaga APBN. Beberapa waktu belakangan, APBN mengalami defisit yang serius. APBN dibuat dalam skema besar pasak daripada tiang, selalu merugi (defisit) Rp638 triliun, sedang skema Pendapatan Negara Rp3.147 triliun, sedangkan Belanja Negara Rp3.786 triliun. Program-program efisiensi pemerintah tidak terang, tak dapat dipercaya. Ini berakibat pada peningkatan pungutan pajak, sehingga fenomena peningkatan PBB menjadi akibat tidak langsung yang dirasakan rakyat.

Sejak awal tahun, sudah beberapa gelombang protes terjadi sebagai respons atas gagalnya pemerintah memahami mandat dan fungsi konstitusionalnya. Pada Februari 2025, gelombang protes bertajuk #IndonesiaGelap menghiasi seluruh media di Indonesia. Hal ini dipicu oleh perubahan RUU Minerba dan realokasi APBN yang berdampak pada banyak sektor. Selain itu, pada Maret 2025 unjuk rasa kembali merebak terkait isu kemunduran demokrasi, seperti RUU KUHAP dan RUU TNI.

Pun ketika aksi unjuk rasa Hari Buruh Sedunia, 1 Mei 2025, mengusung tuntutan pencabutan UU Cipta Kerja, pembentukan UU Cipta Kerja yang layak, serta pelaksanaan reforma agraria sejati. Namun, pada saat itu juga terjadi penangkapan oleh kepolisian, padahal aksi dilakukan dengan damai.

Menjelang Agustus 2025, muncul protes kreatif berupa pengibaran bendera One Piece, yang ditanggapi secara impulsif oleh pemerintah karena dianggap sebagai hasutan dan pengkhianatan terhadap negara. Protes lanjutan kemudian terjadi terkait isu PBB yang mengalami kenaikan drastis di Pati pada pertengahan Agustus 2025. Hal ini juga menjadi fenomena karena pemerintah daerah menantang protes tersebut, yang kemudian dijawab dengan mobilisasi massa rakyat Pati hingga menjadi perbincangan nasional.

Akumulasi masalah ketidakadilan menjadi pemicu munculnya ajakan aksi pada 25 Agustus 2025 yang bertahan hingga 31 Agustus 2025. Respons massa muncul akibat ucapan anggota DPR yang sedang merancang kenaikan tunjangan, hingga terlontar sebutan “tolol” atas sebuah kritik. Hal yang memilukan adalah kritik tersebut dijawab dengan tindakan represif yang berujung pada kematian seorang pengemudi ojol, Muhammad Affan. Peristiwa ini mendorong kemarahan massa hingga terjadi pembakaran dan tindakan represif yang menewaskan sembilan orang lainnya di beberapa tempat.

Harga kebutuhan pokok terus melonjak, sementara pemerintah—sebagai pesuruh rakyat—tidak bertindak berdasarkan asas keadilan untuk mensejahterakan rakyat. Sumber penghidupan tidak diberikan, sedangkan tanah dan pekerjaan justru menjadi faktor langka yang menyebabkan ketimpangan lebar dalam kelas sosial rakyat.

Keadilan untuk martabat dan distribusi kekayaan nasional

Pelayan rakyat yang meminta suara ketika pemilu tersebut telah mengkhianati mandat Pancasila dan UUD 1945. Hal ini terlihat dalam praktik yang dilakukan untuk menjamin dan melaksanakan keadilan bagi seluruh rakyat. Retorika dalam pidato politik tentang kebangsaan, ancaman geopolitik, hingga peluang pertumbuhan kapital domestik selalu dikumandangkan, tetapi praktik di lapangan nol besar.

Pilar-pilar demokrasi telah goyah akibat oportunisme kekuasaan dan kepentingan semata. Jauh dari tujuan dibentuknya negara, yaitu mendorong terwujudnya keadilan bagi setiap orang dan menghapus kesenjangan sosial. Keadilan untuk memajukan martabat manusia agar sama di mata hukum, memiliki kesempatan yang sama dalam politik, serta mendapat jaminan atas hak asasi manusia, kini berbanding terbalik dengan realita. Perilaku para pengurus negara tidak memberikan rasa keadilan tersebut.

Kematian rakyat, mulai dari peristiwa Reformasi; unjuk rasa menolak Omnibus Law dan RUU KPK; kematian dalam mempertahankan tanah; kematian suporter akibat tindakan represif aparat kepolisian; hingga tragedi Agustus yang merenggut 10 nyawa, tidak dijawab dengan tindakan konkret untuk mewujudkan keadilan. Situasi yang terjadi justru berupa penangkapan hampir 5.444 orang dan pengusutan terhadap 583 orang (Kompas, 8 September 2025), serta pemanggilan terhadap aktivis yang melakukan demonstrasi di berbagai tempat. Ini adalah praktik buruh dalam demokrasi.

Hingga 2024, terjadi kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani sebanyak 399 orang, dengan 4 orang tertembak dan 4 orang meninggal akibat ditembak atau dibacok ketika konflik berlangsung. Kekerasan ini dilakukan oleh preman/pihak perusahaan, polisi, Satpol PP, hingga TNI.

Lain lagi soal ketimpangan: keadilan dalam mendistribusikan kekayaan nasional agar dapat menjamin dan melindungi rakyat, fakir miskin, serta anak terlantar, hingga jaminan dasar atas pendidikan dan kesehatan layak, tidak tercermin dalam tindakan nyata maupun kebijakan Indonesia. Menurut KPA, kalangan 1% korporasi menguasai 68% lahan produktif di Indonesia. Pada 2019, 1% orang menguasai 50% aset nasional menurut Sekretaris TNP2K. Menurut CELIOS, ketimpangan itu terlihat dari kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia yang setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia. Sementara itu, kekayaan pejabat dan pebisnis hitam kian melonjak tinggi.

Pengembalian hasil kekayaan negara masih belum diselenggarakan secara merata. Peran negara dalam mengatur ekonomi masih jauh dari amanat dasar bernegara. Kesenjangan distribusi kekayaan, pendapatan, dan akses pada kesempatan yang sama semakin lebar. Ini adalah paradoks ketika pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi justru menghasilkan ketidakadilan atas martabat dan kesempatan kemakmuran yang berbeda.

Tanah untuk Rakyat

Tanah masih merupakan sumber pendapatan mendasar bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Orang miskin banyak terkumpul di pedesaan, sedangkan di perkotaan mereka adalah rakyat urban yang tidak dapat meningkatkan kehidupannya. Saat ini, ketiadaan tanah, penyempitan lahan petani, pemiskinan struktural petani, dan konflik agraria menjadi masalah klasik. Bukannya mendistribusikan tanah dan meningkatkan kapasitas petani, pemerintah justru melahirkan program bantuan karikatif yang tidak mengubah masalah struktural mereka.

Reforma agraria masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai hingga saat ini. Sebaliknya, konflik agraria terus meningkat akibat berbagai kebijakan strategis pemerintah. Ketimpangan atas tanah yang diikuti konflik terlihat dari catatan KPA, di mana letusan konflik agraria terus merangkak secara konstan. Sejak Omnibus Law Cipta Kerja disahkan, tahun 2020 tercatat 241 letusan konflik; menurun pada 2021 menjadi 207; tetapi hingga 2024 melonjak naik menjadi 295. Konflik tersebut didominasi sektor perkebunan dan infrastruktur, berdampak pada 67.436 keluarga di lahan seluas 1,1 juta hektare. Selain sektor perkebunan dan infrastruktur, konflik juga diakibatkan sengketa dengan kehutanan, tambang, pertanian/agribisnis, properti, hingga fasilitas militer.

Omnibus Law Cipta Kerja menjadi biang keladi semakin dalamnya ketimpangan akses tanah bagi rakyat. Rencana pembangunan dijalankan secara serampangan, memaksa tanah dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dialokasikan untuk kepentingan kapital. Upaya rakyat melebarkan kapasitas ekonominya dirampas akibat kemudahan mengambil tanah rakyat. Terdapat berbagai pengaturan kebijakan dalam UU Cipta Kerja yang memudahkan perampasan tanah, antara lain melalui Bank Tanah, HPL dan HAT, kebijakan pangan, pengadaan tanah, perkebunan, kehutanan dan lingkungan, tambang, pesisir dan pulau kecil, tata ruang, hingga rumah susun dan hak milik orang asing.

Pemerintahan saat ini menilai bahwa swasembada atas pangan, energi, dan air menjadi prioritas, sehingga kebijakannya dijalankan dalam bentuk komando atas komoditas padi, jagung, kedelai, singkong, tebu, sagu, dan sukun melalui Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, BUMN, serta instansi lainnya. Hal ini masih jauh dari amanat UU Pokok Agraria tentang jaminan keadilan sosial di bidang agraria, yang menegaskan bahwa tanah bukan hanya sebagai objek ekonomi, tetapi juga memiliki fungsi sosial untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

Selain itu, program kehutanan juga berdampak pada masyarakat terkait Perpres No. 5/2025 tentang penertiban kawasan hutan. SK Kementerian Kehutanan No. 36/2025 yang mengatur penertiban kawasan hutan menghasilkan dampak ikutan bagi petani. Peraturan yang menertibkan perusahaan sawit saat ini, dan rencana penertiban pertambangan ke depan, justru meniadakan aspek konflik antara petani dan pengusaha. Seakan petani dan rakyat sekitar yang terdampak tidak dianggap sebagai faktor penting yang harus diselesaikan permasalahannya. Peruntukan hutan yang saat ini dikelola oleh BUMN hanya akan melahirkan konflik berkepanjangan seperti pada era Orde Baru. Karena itu, kelembagaan yang partisipatif sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini.

Asta Cita, yang mendorong pembangunan ekonomi, dimaknai sebagai program sertifikasi tanah melalui pelaksanaan redistribusi tanah dengan sertifikasi, bantuan pemberdayaan tanah, serta perbaikan pengelolaan tanah dengan pendaftaran tanah stelsel positif. Namun, tanpa menempatkan petani dan kelompok produktif rakyat sebagai pusat pembangunan Indonesia, maka segala program yang dijalankan secara komando (top-down) tidak akan bermanfaat. Hal ini terjadi karena program yang dilabeli sebagai Proyek Strategis Nasional masih menjadi musuh utama dalam menjalankan cita-cita UU Pokok Agraria untuk mendistribusikan tanah bagi rakyat.

Kerja layak untuk Rakyat

Kementerian Ketenagakerjaan merilis bahwa pada Februari 2025 terdapat 216,79 juta penduduk usia kerja, dengan 152,99 juta (70,60%) angkatan kerja dan 63,79 juta (29,40%) bukan angkatan kerja. Ini merupakan ancaman bagi kehidupan negara yang sedang mengalami ketimpangan sosial. Tercatat bahwa lapangan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja berasal dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (41,61 juta), sektor perdagangan dan eceran (28,07 juta), serta sektor industri pengolahan (19,60 juta). Jika diperiksa kembali, status buruh informal dalam sektor-sektor tersebut mengalami kenaikan. BPS mencatat pada Februari 2024 sekitar 59,17% dari total jumlah tenaga kerja Indonesia berstatus buruh informal. Hal itu juga terlihat dari buruh informal pada sektor pertanian sebesar 90,6%, sektor akomodasi makanan/minuman 69,41%, dan sektor industri pengolahan 40,82%. Jika dilihat dari kategori informalisasi, maka kondisi dunia ketenagakerjaan yang dialami buruh semakin memprihatinkan. Di saat terjadinya deindustrialisasi di Indonesia, kerja layak menjadi hal yang semakin langka bagi rakyat kebanyakan.

Omnibus Law Cipta Kerja semakin menurunkan hak normatif buruh. Status kerja yang layak semakin sulit diperoleh. Kebanyakan pekerja formal direkrut melalui skema kontrak atau outsourcing, yang tentu akan melonggarkan tanggung jawab perusahaan terhadap buruh. Kondisi ini membuat buruh menghadapi tantangan berupa kerentanan terhadap PHK sepihak. Selain itu, buruh juga dihadapkan pada upah yang jauh dari layak, kesehatan dan keselamatan kerja yang terabaikan, hingga minimnya akses serta ruang peningkatan kapasitas dari perusahaan. Semua ini terjadi akibat murahnya upah buruh di Indonesia. Dalam ekonomi yang terhubung pada rantai pasok global, upah murah dijadikan jaminan bagi investor untuk masuk ke Indonesia.

Bagi generasi muda, persoalan pekerjaan layak juga menghadapi tantangan yang sama. Informalisasi semakin masif, sementara lapangan kerja yang layak semakin dibutuhkan untuk memenuhi kehidupan. Perubahan global yang mendorong perkembangan teknologi kerja justru memperlebar ketimpangan, tidak hanya bagi generasi saat ini tetapi juga bagi generasi berikutnya. Banyak pekerjaan umum kini mulai berganti seiring perubahan teknologi. Kerja berbasis komoditas dan layanan jasa pun semakin sulit ditemukan belakangan ini.

Situasi ini merupakan masalah struktural yang tidak akan berubah tanpa perbaikan tata kelola negara dan pemerintahan. Rakyat diminta percaya, tetapi mereka sudah diberi trauma. Aspirasi rakyat kerap direspons dengan stigma tindakan makar, bahkan terorisme. Penguasa lupa bahwa mereka telah membangun trauma massal. Amuk rakyat menjadi wajah frustrasi terhadap sistem ekonomi dan politik yang tidak adil. Saluran politik disumbat oleh sistem yang telah lama teralienasi dari publik, sehingga kehilangan tautan dengan aspirasi rakyat.

Perbaikan tata kelola politik menjadi keharusan. Pasca putusan MK terkait paket UU Politik—soal partai politik, pemilu, pilkada, dan lainnya—perlu dilakukan peninjauan ulang untuk memberi ruang bagi aspirasi berbeda dalam menyampaikan kritik dan kontribusinya. Pengelolaan kekuasaan yang saat ini didominasi oleh borjuasi nasional terbukti gagal memberikan keadilan, tanah bagi rakyat, dan kerja layak bagi rakyat.

Dalam momentum Hari Tani Nasional, 24 September 2025, kami, Kesatuan Perjuangan Rakyat, menyatakan bahwa keadilan, tanah, dan kerja harus diwujudkan secepatnya. Untuk itu, kami menuntut:

  1. Laksanakan reforma agraria sejati untuk merestrukturisasi ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
  2. Bangun industrialisasi yang kuat di bawah kontrol rakyat.
  3. Ciptakan lapangan kerja formal dan layak bagi seluruh rakyat Indonesia.
  4. Turunkan harga kebutuhan pokok.
  5. Evaluasi menyeluruh Program MBG yang telah menyebabkan ribuan siswa keracunan, dan hentikan sementara hingga ada jaminan keamanan pangan.
  6. Sediakan teknologi, modal, pengetahuan, dan pasar untuk petani.
  7. Berlakukan upah minimum bagi pejabat negara yang setara dengan upah buruh.
  8. Berlakukan pajak progresif bagi orang kaya dan pejabat negara.
  9. Sita aset koruptor untuk kesejahteraan rakyat.
  10. Segera revisi secara demokratis paket UU Politik (UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Pilkada).
  11. Wujudkan demokrasi sejati seluas-luasnya.
  12. Bebaskan semua tahanan politik yang ditangkap dalam aksi massa selama Agustus–September tanpa syarat.
  13. Adili seluruh anggota kepolisian yang melakukan kekerasan terhadap rakyat. Laksanakan reformasi Kepolisian RI dan hentikan penggunaan alat kekerasan seperti senjata api, gas air mata, dan lainnya terhadap ekspresi rakyat Indonesia.
  14. Kembalikan TNI ke barak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top