Fleksibilitas Kerja Berkedok Aktivisme

“Mengapa kamu melihat serpihan kayu di mata saudaramu, tetapi tidak melihat balok kayu yang ada di matamu sendiri?” (Matius 7:3)

Kutipan Alkitab itu  menggambarkan apa yang terjadi di Cakra Wiraka Indonesia (CWI), sebuah Non-Governmental Organization (NGO) yang fokus menyoroti isu tata kelola politik yang partisipatif, adil, dan setara. Pasalnya di tengah riset tentang inklusifitas dan hak asasi yang dilakukan, CWI justru tidak memenuhi hak pekerjanya. 

CWI tidak memberikan jaminan sosial berupa BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan bagi buruhnya. Selain itu, CWI juga enggan membayar kompensasi PKWT senilai satu bulan gaji setelah kontrak selesai. Dalam perkembangannya, kasus ini sedang dikawal oleh Federasi Semesta untuk tindak lanjut advokasi.

Tersibaknya kasus ini menunjukkan puncak gunung es masalah ketenagakerjaan di NGO. Di balik selimut aktivismenya, buruh NGO justru dihadapkan dengan kerentanan kerja. Tulisan ini akan membahas bagaimana perubahan orientasi NGO dan bagaimana iklim kerja di dalamnya.

NGO dan Aktivisme

Terbentuknya NGO memiliki tujuan utama yakni menumbuhkan masyarakat sipil yang kritis sehingga tercipta good governance (Suharko, 2003). Dengan terbentuknya sikap kritis maka demokrasi diharapkan  berjalan dengan ideal. Selain itu, NGO juga berperan dalam penguatan masyarakat sipil untuk melakukan pengawasan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, pencegahan kembalinya rezim otoriter, serta dorongan dan dukungan kepada masyarakat untuk meningkatkan partisipasi dan pengawasan atas negara. 

Clarke (1998) menyebutkan faktor meningkatnya jumlah NGO di negara berekembang pada dekade 80-90an. Pertama, NGO dan lembaga multilateral dari negara-negara “barat” memberikan stimulus keuangan yang besar kepada NGO di negara “selatan”. Kedua, akibat resesi ekonomi pada 1980, negara yang semula antipati terhadap NGO akhirnya melibatkan mereka terhadap pembangunan sosial ekonomi di negaranya. Ketiga, perubahan bentuk gerakan sosial yang semula lekat akan ideologi dan besar secara organisasi, akhirnya terpecah menjadi gerakan yang kecil-kecil.

Di Indonesia, NGO mulai merebak pada dekade akhir Orde Baru. Di masa Orde Baru, di mana gerakan rakyat habis diberangus, NGO berperan sebagai organisasi yang muncul untuk mengadvokasi problematika rakyat. Beberapa NGO diisi oleh intelektual yang berupaya mengorganisir kembali kekuatan rakyat dalam upaya perlawanan terhadap orde baru. 

Bentuk umum hubungan NGO dengan rakyat adalah kemitraan. Namun, di Indonesia hubungan di antara keduanya bukan sekadar kemitraan, tetapi juga pendidik sekaligus organisator (Ford, 2023). Orang-orang yang menurut terminologi Gramsci disebut sebagai intelektual organik, menggunakan NGO untuk melakukan advokasi, pendidikan, dan membentuk organisasi rakyat yang mandiri. Sebagai contoh NGO yang fokus dalam isu perburuhan pada masa orde baru. 

Saat orde baru masih berkuasa, untuk mengantisipasi gerakan buruh muncul kembali, pemerintah melakukan kanalisasi serikat buruh dengan membentuk Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Kanalisasi itu bertujuan untuk mempermudah kontrol terhadap serikat buruh. Kontrol diperlukan agar buruh tidak bersangkut paut dengan politik seperti yang terjadi pada pra 1965. 

Hubungan serikat buruh dan politik dalam sejarahnya membuahkan beberapa pemogokan hingga pemberontakan. Seperti yang terjadi di tahun 1926 dan awal kemerdekaan. Orde Baru juga memainkan politik bahasa dengan mengganti kata “buruh” menjadi “karyawan” atau “pekerja,” atas dasar historis “buruh” yang syarat akan muatan politik.

Dalam kasus tersebut, peran NGO adalah membuat serikat buruh independen sebagai kontra hegemoni terhadap kanalisasi itu. Mereka membuat pelatihan terkait advokasi dalam hubungan industrial, mengadakan lokakarya, serta diskusi-diskusi untuk menguatkan para buruh.

Meskipun begitu, antara NGO dan rakyat—buruh—tetap memiliki batas pembeda. NGO tetaplah “orang luar” yang tidak merasakan problem ketertindasan secara langsung, sehingga kacamata dan tanggungan resiko juga tidak bisa disamakan. Sebagai contoh kasus yang dicatat oleh Ford (2023), agen intelektual dengan jubah NGO getol mendorong pemogokan buruh, namun ketika pemogokan itu gagal agen intelektual tersebut lantas lari dan tak bertanggung jawab.  

Pasca reformasi organisasi gerakan rakyat mulai bermunculan dengan atau tanpa bantuan NGO. Hubungan NGO dengan rakyat kembali ke setelan pabrik, yaitu sebagai mitra. Aktivisme yang dijalankan hanya sebatas melaksanakan program dari donor tanpa memiliki tujuan politik yang jelas. Lebih lugas dijelaskan oleh Abdul Mugis Mundhofir yang mengkategorikan mereka sebagai aktivis borjuis.

Di masa sekarang, di tengah fleksibilitas tenaga kerja, NGO pada akhirnya menjadi salah satu rujukan untuk tempat bekerja. Di sini terdapat pergeseran perspektif dan ekspektasi pada NGO. Yang awalnya memiliki tujuan advokasi permasalahan sosial sampai paling radikalnya membangun gerakan akar rumput, kini bertransformasi menjadi suaka bagi surplus tenaga kerja relatif saja.

Pekerja NGO dalam Relasi Kuasa

Setiap ruang kerja pasti memiliki selubung relasi kuasa di dalamnya. Jika literatur Marxian menjelaskan bagaimana pertentangan terjadi antara kelas pemilik modal dan buruh, lantas siapa yang dikategorikan sebagai pemilik modal dan buruh ini dalam kerja NGO? Lalu bagaimana relasi kuasa di lingkup NGO berlangsung?  Menjawab pertanyaan ini, saya mewawancarai dua orang yang sedang dan pernah bekerja di NGO di Jakarta dan Yogyakarta. 

Aska (nama samaran) pernah bekerja di salah satu NGO yang fokus dalam pendampingan korban human trafficking di Yogyakarta. Sesuai dengan kontrak kerja dia bertugas sebagai petugas lapangan yang langsung bersama komunitas warga. Tiap bulan dia mendapatkan gaji Rp2 juta. Namun, sebenarnya gaji yang dia dapatkan sebesar Rp3,7 juta. Akan tetapi, selisih gaji Rp1,7 juta itu dipotong untuk uang kas organisasi. Keputusan pemotongan itu tanpa ada pendiskusian sebelumnya dengan seluruh buruh.

Dia dengan petugas lapangan yang lain tidak memiliki hak bicara dalam organisasi, karena petugas lapangan bukanlah anggota. Hanya anggota yang bisa ikut mengambil keputusan dalam organisasi. Dalam peraturan organisasinya, perlu tiga tahun bekerja agar menjadi anggota, itupun atas persetujuan seluruh anggota. Namun, belum sempat diangkat menjadi anggota, di tahun kelima dia bekerja kontraknya tidak diperpanjang. Ironi, padahal NGO tempatnya pernah bekerja  ini sering mengkampanyekan pentingnya demokrasi. 

Tertutupnya informasi tentang dana funding menurutnya adalah kegagalan NGO dalam menjalankan akuntabilitas dan demokrasi. Relasi kuasa juga terjadi antara orang lama dan orang baru dalam dunia NGO. Aska mengutarakan bagi orang lama yang sudah mengetahui akses funding melalui gurita relasinya, dia lebih memiliki kontrol akan organisasinya. Sedangkan orang baru yang menjadi petugas lapangan atau mengurusi hal teknis tidak memiliki kontrol. Dilihat secara kasat mata, relasi ini seperti bos dan bawahan, alih-alih menjadi organisasi yang demokratis.

Kita menuju ke Ibu Kota. Mara (nama samaran), bekerja di salah satu NGO di Jakarta yang fokus mengawasi perdagangan internasional. Pada masa awal kerja dia harus melaksanakan magang selama satu tahun. Baru setelah itu diangkat menjadi staf dan menandatangani kontrak kerja. Selama magang dia tidak mendapatkan BPJS yang sebenarnya menjadi hak dan diatur dalam undang-undang. 

Walaupun telah menjadi staf, dia tidak mengetahui secara pasti berapa dana yang didapatkan oleh NGO dari lembaga donor. Pendiskusian terkait dana donor itu hanya berada di pimpinan eksekutif saja. Sepengalaman dia bekerja, apa yang menjadi fokus isu dan kajian mengikuti tema atau nilai-nilai dari lembaga donor yang dituju. Hal itu bertujuan untuk bisa mengakses dukungan materiil dan nonmaterial. Jika tidak sesuai dengan hal itu, maka lembaga donor dapat menolak proposal atau menghentikan kucuran dana kepada NGO.

Apa yang dialami oleh Aska dan Mara adalah gambaran kondisi kerja di NGO yang rentan. PHK sepihak dan kepastian kerja kerap kali menghantui buruh NGO. Walaupun tergolong dalam kerja formal, beberapa NGO tidak menjamin keselamatan kerja buruhnya. Bahkan di kasus lain, sampai ada yang meregang nyawa, seperti apa yang dialami oleh Golfrid Siregar, salah satu anggota Walhi. 

Sebagai lembaga yang mengandalkan donor driven, NGO dihadapkan kontrol oleh lembaga donor. Tak ayal, banyak NGO yang akhirnya bubar karena lembaga donor menghentikan arus dana. Bisa karena isu yang ditangani sudah tidak relevan—tidak sesuai keinginan lembaga donor—atau akuntabilitas NGO yang buruk. Ini berdampak juga kepastian kerja bagi buruh NGO, untuk tercebur kembali ke pasar tenaga kerja fleksibel. 

Paradoks NGO sudah seharusnya diakhiri. Lantang pada kekuasaan, tetapi menindas buruhnya merupakan preseden buruk bagi penegakan HAM di Indonesia. Perubahan mulai dilakukan dari dalam. Melalui keterbukaan dengan sistem kerja yang setara, serta jaminan kerja bagi buruh, suara kritis NGO akan menemukan kesahihannya. 

Pentingnya Serikat 

Dari sejarah, bentuk kontrol, serta relasi kuasa dalam NGO, dapat disimpulkan bahwa NGO adalah bentuk aktivisme yang dibayar. Hasil kerja buruh NGO berupa riset, pendampingan warga, hingga intervensi kebijakan, harus sebanding dengan jaminan keselamatan kerja hingga upah yang layak. Jangan sampai karena label aktivismenya, buruh NGO dianggap kerja sukarela. Suka-suka bos dan rela diapain aja.

Menghadapi iklim kerja yang fleksibel ini, serikat adalah kebutuhan mutlak bagi buruh NGO. Fungsi serikat selain mengimplementasikan filosofi sapu lidi, juga meningkatkan posisi tawar buruh NGO dalam hubungan kerja. 

Terlebih dalam beberapa tahun ini kesadaran berserikat mulai tumbuh pada buruh-buruh non industri. Seperti munculnya Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (Sindikasi) pada 2017 dan Serikat Pekerja Kampus pada 2022, menjadi percontohan bahwa serikat tidak hanya bisa dibentuk di pabrik-pabrik saja.

Selanjutnya, jejaring antarsektor kerja perlu dilakukan untuk saling menguatkan sesama buruh. Melalui aliansi, pendidikan bersama, serta kampanye digital solidaritas sesama buruh akan dirajut. Hal ini menjadi penting agar tidak ada lagi pengkotak-kotakan antar buruh industri dan non industri. 

Penulis: Pratama Wasisto Aji

Daftar Pustaka:
Clarke, G. (1998). Non-Governmental Organizations (NGOs) and Politics in the Developing World. Political Studies, 46(1), 36-52. https://doi.org/10.1111/1467-9248.00128

Ford, Michele. (2023). LSM, Mahasiswa, dan Gerakan Buruh Indonesia. InsistPress: Yogyakarta

Suharko. (2003). NGO, Civil Society, dan Demokrasi: Kritik Atas Pandangan Liberal. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 7, No.2 (205-226)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top