Gerakan Rakyat Saja Harus Dikritik, Lalu Apa yang Salah dari Mengkritik Aktivis Borjuis?

“Aktivisme borjuis adalah masalah yang nyata bagi agenda politik progresif jangka panjang di Indonesia. Ia bagaikan siraman air es pada bara perlawanan yang sedang merona.” Selaku orang yang ikut lempar-lemparan di DPR pada tanggal 22 Agustus lalu dan ikut konsol-konsol setelahnya sampai nguap-nguap, lalu aksi-aksi lagi–saya juga gak tau apakah saya juga bagian dari si aktivis borjuis atau bukan–saya juga ingin ikut komen terhadap sebuah tulisan yang merespon aksi massa yang terjadi pada 22 Agustus lalu, baik terhadap tulisan awal yang memantik penyebab riak-riak setelahnya maupun respon-respon atasnya. Tulisan tersebut diterbitkan di Project Multatuli (PM) dengan judul ‘Darurat Aktivis Borjuis’ (selanjutnya disingkat DAB).

Posisi saya kurang lebih tergambar dari kalimat awal di atas. Kalau politik jalanan memang perlu ditransformasi dengan merebut kekuasaan negara, atau kalau kata seorang kawan, tulisan DAB bisa diringkas hanya dengan satu kalimat dan satu tarikan napas: Bangun persatuan, bangun partai, rebut kekuasaan!. Apakah Anda tidak sepakat dengan itu? Sisa lainnya dari tulisan tersebut hanya sederetan fakta terhadap gerakan di Indonesia: reaktif, moralis, dan rawan ditunggangi. Ini jelas diametral dengan posisi kawan-kawan yang–mungkin dimaksudkan sebagai aktivis borjuis dalam tulisan DAB–melawan untuk melawan demi aktualisasi hasrat terliarnya atau melawan karena panggilan hatinya (gerakan moral) yang biasanya terkerangka dalam istilah masyarakat sipil.

Apa itu masyarakat sipil? meminjam dari apa yang dituliskan Hilmar Farid, “Konsep yang serba samar dan tak jelas batasannya, mencampurbaurkan gagasan liberal tentang good governance, rasa saling pengertian antara pemerintah dan rakyat, berikut harapan terciptanya gerakan warga lintas kelas.” Yang satu menolak percaya secara total terhadap negara dengan segala perangkatnya; satunya lagi melawan dengan harapan pemerintah masih mau mendengar tuntutannya dan memegang teguh nilai demokrasi dalam bernegara. Keduanya sama-sama membiarkan partai dan negara terus dikuasai kapitalis. Hal yang selama ini justru membatasi perlawanan massa untuk tidak bisa mewujudkan potensi radikalnya menjadi kekuatan politik progresif yang signifikan.

Kalaupun ada kritik atas tulisan DAB, paling tidak ada dua hal. Pertama, ketidak-tegasan dalam menunjuk hidung siapa yang dimaksud aktivis liberal pro demokrasi aka aktivis borjuis. Apakah pimpinan-pimpinan BEM dan organisasi-organisasi ekstra? Mahasiswa yang ikut tergerak untuk aksi karena FOMO dan bisa jadi itu kali pertama mereka ikut terlibat aksi? Para influencer? Tokoh-tokoh LSM/CSO? atau siapa? Sehingga hal itu dinarasikan, mereka (para penulis) mendiskreditkan aksi yang terjadi, yang sedang dalam kondisi kedaruratan tersebut (menurut sebagian besar orang). Kalau benar demikian–saya rasa mereka tidak senaif itu–justru itu bertentangan dengan poin yang ingin mereka sampaikan: mentransformasikan gerakan hari ini pada politik progresif yang punya agenda jangka panjang. Mengutip Pak Botak, “Itu berarti melepaskan kerja-kerja praktis dan berdiri terpisah dari massa ketimbang mengorganisasikan mereka dengan berlandaskan persoalan hidup sehari-hari.”

Kedua, tulisan itu memang lebih seperti ingin menggurui, bahkan pada titik tertentu lebih mirip ingin mengajak orang berantem alih-alih diskursus. Walau demikian, dengan kekaburannya–meski secara implisit tergambar siapa sih aktivis borjuis ini–yang membuat ragam interpretasi atasnya, tone yang tidak simpati, sampai ketidaklengkapan solusi yang ditawarkan. Tulisan ini berhasil memantik percakapan, men-trigger banyak pihak, yang memang justru tepat sasaran sepertinya. Cek saja di komen IG PM.

Disayangkan Memang

Melihat banyak respon atas tulisan DAB sungguh disayangkan, itu malah direspon dengan hanya meng-cancel si penulis dengan mengatainya sebagai: aktivis menara gadang, istilah njlimet, akademisi borjuis caper, alih-alih secara serius membantah argumennya. Itu mengingatkan saya kepada antek-antek Mulyono yang mengaslight aksi ReformasiDikorupsi (RDK) dan Tolak Omnibus Law. Cek saja kolom komentar di IG PM, bahkan itu dilakukan oleh mereka juga yang katanya aktivis pro-demokrasi, HAM, dll., sampai-sampai PM mengklarifikasi kenapa tulisan itu terbit. Apa memang selatah ini orang-orang di gerakan dalam merespon sesuatu yang berbeda. Bahkan cenderung defensif ketika ada kritik, alih-alih mencoba memahami secara utuh poin kritiknya, malah seperti tersungkur ke dalam sovinisme.

Berbicara apresiasi dan kritik, pertanyaannya kapan sih di gerakan tidak saling mengapresiasi dan bahkan bersolidaritas? Hampir setiap momentum perlawanan solidaritas itulah yang jadi bahan bakar kita apalagi apresiasi. Tapi kapan kritik yang secara serius dan disampaikan secara terbuka kepada gerakan itu ada? Misal, kritik atas gerakan RDK (bahkan ada 5 korban meninggal dunia)? Tolak Omnibus Law? (kenapa masih gagal toh kita sudah memobilisasi massa secara besar-besaran) Korban Kanjuruhan? Tidak adanya partai progresif (yang bertarung secara electoral) yang muncul pasca reformasi, dsb.

Kalaupun ada kritik, itu lebih seperti gogon (gosip underground) di warung kopi atau obrolan di sela-sela konsolidasi. Setelah itu semuanya–individu ataupun lembaganya–lanjut lagi aktivitas masing-masing seperti biasanya. Dikatakan tulisan DAB itu keluar di waktu yang tidak tepat. Bahkan berpotensi mengecilkan semangat mereka yang sedang berlawan atau baru mulai berlawan. Kalau menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikan kritik, kapan waktu yang tepat itu? Setelah anak-anak STM yang baru melek akan situasi politik itu trauma karena direpresif aparat? Setelah semua gerakan progresif tiarap tak bersisa? atau setelah ada yang buat acara model-model “Melawan tapi Santuy” seperti ketika RDK dulu? Justru memang kritik itu dibutuhkan, supaya gerakan itu berfikir kenapa selama ini kalah terus? Kenapa nafasnya pendek? Apa yang keliru? Apakah kekeliruan tersebut ada di level strategi atau di level taktik? atau memang perlawanan ini tidak punya tujuan lain selain respon terhadap isu yang muncul? Mengkritik model perlawanan yang ada tidak serta-merta mendiskreditkan, menginvalidasi, menggembosi perlawanan itu sendiri. Justru itu bentuk kalau kita memang peduli terhadap keberlangsungan perlawanan.

Marah Saja Tidak Cukup

Kita memang harus tetap marah, pertanyaannya memang kapan kita (rakyat biasa ini) tidak marah di negara ini? Dari banyak aspek yang ada itu bahan bahan bakar kemarahan semua isinya. Kalau ada yang tetap bisa tenang-tenang dan menikmati hidupnya dengan nyaman, justru perlu dipertanyakan “kisanak dari kelas yang mana?.” Walaupun ekspresi kemarahannya terejawantahkan ke dalam banyak bentuk, terkadang dimuarakan ke hal yang tidak tepat. Tapi kita tidak pernah kekurangan bahan bakar amarah apalagi orang marah-marah. Masalahnya bagaimana mengorganisir kemarahan yang sudah terakumulasikan tersebut. Kalau salah satu penulis yang merespon DAB ada yang menyatakan kemenangan disusun oleh bata-bata kecil, bata-bata kecil itu mau disusun jadi apa? Maka itu marah saja tidak cukup. Harus ada yang mengatur supaya bata-bata itu tersusun pada tempat yang semestinya.

Untuk menjawabnya kita perlu tahu dulu tentang kondisi objektif yang terjadi saat ini. Suatu penjelasan komprehensif atas suatu fenomena berdasarkan pengamatan, penelitian, serta analisis fakta-fakta yang ada, itu yang kita kenal sebagai teori (maka itu kita butuh teori)–-bukan mencomot sana-sini teori-teori yang ada (eklektik), konsumtif terhadapnya, dan memaksakan realitas seturut dengannya. Dengan begitu kita akan mengetahui siapa musuh kita? Di mana titik lemahnya atau pada waktu kapan? Siapa yang akan menjadi agensi gerakan dalam melakukan perlawanan? Vocabullary perlawanan seperti apa yang akan digunakan? Apakah harus bentrok berdarah-darah atau cukup dengan aksi damai (santuy-santuy)? Bagaimana menjaga endurance perlawanan massa? Sampai titik mana radikalisasi massa bisa didorong?, dsb. Singkatnya itu menjadi sintesis antara teori dan praktek. Dengan begitu teori memiliki implikasi konkret terhadap praktek begitupun sebaliknya, karena memang keduanya saling berkelindan.

Coba bayangkan, kalau di lingkaran gerakan hanya dipenuhi dengan puja-puji, salutasi-salutasi, singkatnya echo chamber tanpa ada kritik yang serius dan bisa dipertanggungjawabkan? Ini hanya akan bermuara dengan saling memvalidasi kekalahan dan romantisme “nanti kita akan cerita tentang hari ini.” Apalagi kalau hanya mengandalkan seruan-seruan alerta dengan segala fear mongering-nya. Percayalah, hanya marah (reaktif) sambil memberi apresiasi atas hal-hal kecil (dengan semangat sekalipun), itu akan mendorong kita pada demoralisasi yang lebih dalam. Saya rasa banyak dari kawan-kawan kita mengalaminya.

Walau Sulit Gerakan Butuh Pengorganisiran Politik Progresif

Kita semua sadar bahwa kebijakan-kebijakan problematik yang ditolak selama ini merupakan produk dari sistem politik yang ada. Di mana itu adalah wilayah yang dibiarkan kosong gerakan rakyat selama ini. Wilayah yang diisi oleh para borjuis, oligarki, dll., yang jelas bukan masyarakat sipil apalagi kelas pekerja. Kabar baiknya, dari respon kawan-kawan yang juga menulis di PM mereka sepakat kalau gerakan butuh pengorganisiran politik progresif. Apakah bentuk konkretnya? Organisasi luas dengan format front kah? Partai politik? atau apa itu perlu didiskusikan secara serius ke depan. Harapannya orang-orang yang memulai riak-riak ini juga terlibat.

Sulit, jelas sulit, mengucapkan atau menuliskan tidak ada seujung kuku dalam mempraktekkannya. Banyak yang sudah mencoba, gagal lalu demoralisasi, ada yang masih mencoba dipaksa berkompromi oleh realitas politik lalu mutung, ada yang masih terus mengupayakan, bahkan ada juga yang masih mencoba membangun kekuatan politik dari awal. Lalu kenapa itu masih tetap diperjuangkan kalau begitu susahnya merealisasikannya? Karena itu cara yang belum dilakukan secara serius oleh gerakan–cek saja (seminimal) kapan di gerakan atau forum konsolidasi membicarakan ini secara serius dan terbuka apalagi menjadikannya sebagai diskursus publik? selaian pembahasan tolak dan lawan kalau ada kebijakan baru–, sedangkan perlawanan seperti yang terjadi di tanggal 22 dan 23 adalah model perlawanan repetitif yang dilakukan pasca reformasi. Berakhir di mana kita sekarang dengan model perlawanan seperti itu?. Yang paling kentara: pengkultusan figur politik oleh massa luas dan dibatasinya imajinasi perlawanan kita hanya pada menolak kebijakan tanpa tau tujuan apa yang ingin dicapai. Apakah kalian juga percaya kalau Prabowo bisa terpilih jadi presiden ini tidak ada relasi kausalnya dengan model perlawanan gerakan rakyat selama 2 dekade ini?

Sebelum saya akhiri misuh-misuh aktivis borjuis endebrew…endebrew ini, saya ingin mengutip Gramsci sebagai penutup, “Bahwa ada kemungkinan-kemungkinan objektif supaya orang tidak mati kelaparan dan bahwa memang kenyataannya orang-orang mati kelaparan, itu adalah penting setidaknya menurut beberapa orang. Namun keberadaan kondisi-kondisi objektif saja tidaklah cukup, adalah penting untuk mengetahuinya, dan tahu bagaimana menggunakannya, dan mau menggunakannya.” Lalu, dimanakah posisi kita yang misuh-misuh ini?

Tulisan ini pertama diunggah di https://medium.com/@hellobeni/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top