Pernyataan Sikap Gebrak Atas Tindakan Brutal dan Penangkapan Sewenang-wenang Kepolisian Pasca Aksi Agustus-September

Brutalitas aparat tidak berhenti pada saat aksi protes di bulan Agustus–September. Aksi itu telah memakan banyak korban jiwa. Nama-nama seperti Affan Kurniawan, Muhammad Akbar Basri (Abay), Sarinawati, Saiful Akbar, Rusdamdiansyah, Sumari, Rheza Sendy Pratama, Andika Lutfi Falah, dan Iko Juliant Junior menjadi saksi bisu dari keganasan negara. Hingga kini, masih ada dua orang, Farhan dan Reno, yang hilang dan belum ditemukan pasca aksi.

Tidak berhenti di situ, hingga hari ini aparat masih melakukan perburuan terhadap warga, tanpa surat dan prosedur hukum yang jelas. Tindakan ini lebih tepat disebut sebagai penculikan. Salah satu kasus terbaru terjadi semalam dan menimpa Angga Saputra di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Menurut kesaksian rekannya, sekitar pukul 18.40 WIB, sepuluh orang menghampiri Angga. Mereka mengaku sebagai polisi, namun tidak berseragam, tidak menunjukkan surat perintah penangkapan, langsung menyergap dan mencekiknya, lalu membawa Angga secara paksa ke dalam sebuah mobil.

Ribuan orang ditangkap, bahkan polisi turut menyasar orang-orang yang tidak mengikuti aksi sama sekali. Nyaris seluruhnya mengalami penyiksaan, pemukulan, serta disetrum. Per hari ini, setidaknya 998 orang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk 265 anak di bawah umur. Mereka dikenakan pasal-pasal terkait penghasutan, pengeroyokan, pembakaran, melawan petugas, penganiayaan, pencurian, dan perusakan barang yang diatur dalam KUHP; penyebaran informasi provokatif melalui media sosial dalam UU ITE; serta kepemilikan senjata tajam, bom molotov, dan petasan dalam UU Darurat 12/1951. Ini merupakan represi terbesar di era pasca-Orde Baru.

Dari kriminalisasi tersebut, kita dapat melihat pola. Pertama, dimulai dari pidato Presiden Prabowo yang menyatakan adanya upaya makar dan tindakan terorisme. Kedua, arahan Prabowo untuk menindak tegas aksi-aksi anarkistis. Setelah pernyataan Prabowo itu, penangkapan dan perburuan dilakukan oleh polisi; TNI dengan BAIS-nya membantu menyediakan informasi dalam patroli siber. Ini adalah tindakan yang diharapkan oleh Menteri Pertahanan agar TNI dan Polri “bekerja sama” dan “sama-sama bekerja.” Represi ini dilakukan dengan dalih perburuan “anarko” yang distigma sebagai aktor perusuh dalam Perlawanan Agustus.

Sejarah berulang. Pengiblisan ideologi tertentu yang digunakan sebagai dalih pembantaian massal 1965–66 oleh Soeharto, “makar” digunakan untuk melegitimasi represi besar-besaran dalam Peristiwa Malari, “subversif” dan “teori dalang” digunakan untuk menculik dan mengkriminalisasi aktivis-aktivis di tahun 1996–1998. Saat ini label “anarko”, “makar”, dan “terorisme” digunakan untuk melegitimasi perburuan, pemenjaraan, dan penyiksaan ribuan kaum muda Indonesia yang berani melawan ketidakadilan dalam Perlawanan Agustus. Ini sama saja upaya mengibliskan aksi massa dan protes rakyat—mengibliskan demonstrasi yang telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Lebih jauh, praktik aparat dalam menahan para tersangka tidak hanya sewenang-wenang, tetapi juga disertai upaya sistematis menghalang-halangi akses menjenguk keluarga, membatasi bantuan hukum, serta memperlakukan tahanan dengan cara-cara tidak manusiawi. Seperti kasus pada Figha Lesmana, seorang ibu muda dengan bayi berusia 2,5 tahun yang masih dalam masa menyusui. Polisi menuduhnya “memprovokasi kerusuhan,” dan dengan penahanan itu negara secara langsung merampas hak anak untuk memperoleh ASI. Peristiwa ini menggambarkan betapa aparat tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga secara keji memutus ikatan paling mendasar antara seorang ibu dan bayinya.

Selain untuk memberikan rasa takut kepada publik (fear mongering), penangkapan besar-besaran yang dilakukan aparat jelas dimaksudkan untuk memberi justifikasi kepada publik bahwa gelombang aksi protes pada Agustus–September lalu hanyalah hasil provokasi orang-orang yang mereka tangkap. Narasi itu bahkan ditambah dengan tuduhan klise soal konspirasi asing yang disebut mendanai, tanpa pernah benar-benar bisa dibuktikan. Sebaliknya, dugaan peran keterlibatan militer dalam kerusuhan dan penjarahan enggan untuk didalami oleh pihak kepolisian. Pihak kepolisian hanya mencari jalan gampang dengan mengkambinghitamkan demonstran dan kritisisme warga.

Narasi ini sangat menyesatkan. Faktanya, dengan kondisi Indonesia hari ini di bawah rezim Prabowo–Gibran, rakyat tidak membutuhkan provokasi untuk turun ke jalan. Pajak yang semakin mencekik rakyat, minimnya lapangan pekerjaan formal yang layak, serta ketimpangan kepemilikan lahan yang akut. Biaya pendidikan yang terus melonjak membuat jutaan keluarga sulit mengakses sekolah dan perguruan tinggi. Di sisi lain, arogansi pejabat ketika rakyat menyampaikan protes, disertai brutalitas aparat keamanan, semakin mempertebal jurang ketidakadilan. Situasi diperburuk dengan kerusakan lingkungan akibat proyek-proyek ekstraktif yang abai terhadap keselamatan warga. Kasus terbaru ribuan anak yang keracunan akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya. Dalam realitas seperti ini, protes dan kemarahan rakyat lahir bukan dari bisikan provokator, melainkan dari akumulasi penderitaan struktural yang ditopang kebijakan rezim itu sendiri.

Kami, dari Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), mendesak:

  1. Kepada Presiden Prabowo Subianto dan Kepolisian Republik Indonesia untuk segera membebaskan seluruh tahanan politik yang ditangkap, tanpa syarat.
  2. Copot Listyo Sigit dari kursi Kapolri.
  3. Tangkap, adili, dan penjarakan pelaku kekerasan, baik aktor lapangan maupun intelektual.
  4. Lakukan investigasi oleh lembaga independen dan usut tuntas dugaan keterlibatan dan peran militer dalam kerusuhan dan penjarahan pada Perlawanan Agustus.

Untuk memenangkan tuntutan ini, GEBRAK menyerukan untuk elemen gerakan rakyat di seluruh Indonesia untuk turun mengorganisir diri dan turun ke jalan memobilisasi aksi-aksi menuntut pembebasan kawan-kawan yang masih ditahan sebagai bentuk perlawanan atas fear mongering

Jakarta, 3 Oktober 2025

Pimpinan Kolektif Gebrak

Organisasi yang tergabung dalam aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK): Konfederasi KASBI, KPBI, SGBN, KSN, SINDIKASI, Jarkom SP Perbankan, KPA, SEMPRO, KPR, FPBI, SMI, LMID, FIJAR, LBH Jakarta, YLBHI, FSBMM, FSPM, FKI, SPAI, WALHI, GreenPeace, Trend Asia, Aliansi Jurnalis Independen, KONTRAS, BEM STIH Jentera, SPK, Rumah Amartya, Pembebasan, LIPS, Perempuan Mahardhika, KSPTMKI, DFW, PKBI, PS, OKMS, PPR, COMRADE, MHI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top