Setelah 27 Tahun Reformasi, Kita Butuh Partai Gerakan Rakyat!

Otoritarianisme Runtuh, Tapi Kapitalisme Tetap Berkuasa

Reformasi 1998 merupakan momen penting dalam sejarah politik Indonesia. Ia menandai berakhirnya rezim otoriter Orde Baru. Namun, setelah 27 tahun berlalu, semakin jelas bahwa reformasi hanya berhasil menjatuhkan sosok—Soeharto—bukan sistem. Fondasi ekonomi-politik yang menopang kediktatoran tetap utuh, bahkan semakin menguat.

Memang, demokrasi prosedural dibuka. Pemilu multipartai, kebebasan pers, dan otonomi daerah dipuja sebagai keberhasilan reformasi. Tapi realitasnya, oligarki Orde Baru justru bertransformasi dan mengokohkan diri dalam format baru: lewat partai politik, korporasi, media massa, dan aparatus negara. Alih-alih membongkar sistem penindasan, reformasi justru memodernisasi kapitalisme dalam rupa demokrasi liberal-oligarkis.

Laporan Oxfam dan INFID (2023) menyebutkan: 1% orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 45% kekayaan nasional. Ketimpangan ini bukan kebetulan, tapi hasil sistemik dari model ekonomi neoliberal yang diterapkan sejak reformasi. Eksploitasi kelas tidak dihapus—ia disahkan dan diperkuat melalui mekanisme politik elektoral.

Negara Bukan Wasit Netral, Tapi Alat Kekuasaan Kelas Dominan

Dalam narasi arus utama, negara digambarkan sebagai penjaga hukum dan penyeimbang konflik sosial. Namun, dari perspektif materialisme historis, negara dalam masyarakat kelas tidak pernah netral. Ia adalah alat dominasi kelas penguasa untuk mempertahankan relasi produksi yang timpang.

Negara kapitalis tidak hanya pasif membiarkan ketidakadilan terjadi—ia aktif mengatur, melindungi, bahkan menindas demi akumulasi kapital. Negara bukan milik rakyat, tetapi pelayan modal.

Contoh konkret di depan mata:

  • Kriminalisasi Buruh: Aksi mogok nasional 2012 dan penolakan Omnibus Law 2020 dibalas dengan represi dan penangkapan. Negara lebih sibuk melindungi investasi ketimbang hak buruh.
  • Perampasan Tanah: Di Wadas, Rempang, Seko, dan berbagai wilayah lainnya, aparat negara digunakan untuk menggusur petani dan masyarakat adat demi proyek “pembangunan” yang menguntungkan elite.
  • Represi Gerakan Sosial: Aksi mahasiswa, perjuangan lingkungan, dan berbagai gerakan rakyat terus direpresi. Sementara korporasi perusak lingkungan malah dilindungi dan diberi karpet merah.

Negara kapitalis adalah anti-demokrasi, karena menghalangi kuasa rakyat yang sejati. Ia anti-keadilan sosial, karena tunduk pada logika laba. Ia anti-rakyat, karena memperlakukan perlawanan sebagai ancaman, bukan sebagai hak demokratis.

Demokrasi Tanpa Kuasa Rakyat = Representasi yang Palsu

Sistem demokrasi elektoral Indonesia hari ini dikendalikan sepenuhnya oleh oligarki. Hampir semua partai besar bukan tumbuh dari perjuangan rakyat, tapi dibentuk oleh elite birokrasi, militer, teknokrasi, atau modal besar.

Akibatnya:

  • Politik berubah menjadi arena transaksi kekuasaan, bukan medan pertarungan ideologis.
  • Pemilu hanya menjadi ritual legitimasi sistem, bukan alat pemberdayaan rakyat.
  • Partai menjadi mesin pencitraan dan mobilisasi suara, bukan sarana pendidikan politik dan pengorganisasian rakyat.

Tak mengherankan jika survei menunjukkan terus menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik dan parlemen. Angka golput meningkat, bukan karena rakyat apatis, tetapi karena merasa tidak memiliki saluran yang benar-benar mewakili mereka.

Demokrasi tanpa kuasa rakyat adalah demokrasi palsu—topeng untuk melanggengkan dominasi elite. Dalam sistem kapitalisme, representasi politik bukan pemberdayaan, melainkan strategi pengelolaan konflik agar tidak sampai mengubah struktur.

Mengapa Kita Butuh Partai Gerakan Rakyat?

Dalam situasi kebuntuan politik hari ini, Partai Gerakan Rakyat bukan sekadar alternatif—ia adalah jawaban atas kebutuhan sejarah. Kelas pekerja, petani, perempuan, buruh informal, masyarakat adat, dan seluruh kelompok tertindas tidak bisa terus-menerus menggantungkan nasib pada elite. Kita butuh alat politik sendiri—bukan sekadar kendaraan elektoral, tetapi instrumen perjuangan untuk mengubah sistem dari akar-akarnya.

Prinsip-Prinsip Dasar Partai Gerakan Rakyat:

  1. Independen dari Modal dan Negara. Partai ini tidak akan menerima dana dari korporasi, oligarki, donor kapitalis, atau elite politik mana pun. Pembiayaan berasal dari iuran kader, koperasi partai, dan solidaritas kolektif. Tidak ada kompromi demi kekuasaan jangka pendek.
  2. Kepemimpinan Kolektif, Bukan Figur Tunggal. Menolak model “orang kuat” atau pemimpin karismatik. Partai ini menegakkan demokrasi internal, rotasi jabatan, dan kaderisasi dari bawah. Representasi kelompok tertindas harus menjadi pusat kepemimpinan.
  3. Partai Berbasis Gerakan, Bukan Mesin Elektoral. Fokus utama adalah pengorganisasian akar rumput—buruh, petani, masyarakat adat, organisasi perempuan, difabel, dan sektor informal. Pemilu hanya sarana, bukan tujuan. Kekuatan partai terletak pada aksi langsung dan konsolidasi massa.
  4. Hubungan Organik dengan Rakyat. Kader partai harus hidup dan berjuang bersama rakyat. Strategi politik lahir dari konflik nyata, bukan dari ruang seminar. Gerakan bukan aktivitas musiman, tapi bagian dari kehidupan sehari-hari rakyat.

Dari Reformasi Kosmetik Menuju Revolusi Sosial

Partai Gerakan Rakyat tidak dibentuk untuk sekadar memperbaiki sistem kapitalisme. Tujuannya adalah menggantinya dengan sistem yang adil dan demokratis secara sejati.

  1. Menggulingkan Kapitalisme, Bukan Memermak nya. Kapitalisme adalah sistem yang melembagakan eksploitasi dan ketimpangan. Tidak bisa diperbaiki dari dalam. Ia harus digantikan dengan sistem yang berpijak pada solidaritas dan keadilan.
  2. Kepemilikan Sosial atas Alat Produksi. Tanah, pabrik, energi, pendidikan, dan layanan dasar harus dikelola secara kolektif oleh rakyat. Demokrasi ekonomi berarti rakyat menentukan apa yang diproduksi, untuk siapa, dan bagaimana.
  3. Demokrasi Partisipatif: Rakyat Berkuasa Langsung. Bentuk majelis rakyat dan dewan komunitas sebagai pusat pengambilan keputusan. Rakyat harus punya hak mencabut wakil yang berkhianat. Demokrasi sejati hanya mungkin bila rakyat benar-benar berkuasa.
  4. Keadilan Ekologis: Lawan Kapitalisme yang Merusak Bumi. Kapitalisme telah menyeret bumi ke jurang krisis iklim. Solusinya bukan “greenwashing”, tapi transformasi radikal. Produksi harus berbasis kebutuhan rakyat, bukan laba. Transisi energi harus adil dan berbasis komunitas. Perjuangan lingkungan harus bersatu dengan perjuangan kelas.

Rakyat Tidak Butuh Wakil—Rakyat Butuh Kekuasaan!

Reformasi 1998 membuka ruang kebebasan, tapi gagal menghancurkan dominasi kapitalisme dan oligarki. Demokrasi tanpa kekuasaan rakyat hanya melanggengkan status quo. Maka, rakyat tidak cukup diberi hak memilih—rakyat harus mengatur, memutuskan, dan mengambil kekuasaan itu sendiri.

Partai Gerakan Rakyat adalah alat perjuangan untuk melampaui kebuntuan politik hari ini. Ia bukan partai untuk sekadar ikut pemilu, melainkan untuk membangun kekuatan rakyat, memperjuangkan keadilan sosial, demokrasi partisipatif, dan keadilan ekologis.

Rakyat Tidak Butuh Wakil—Rakyat Butuh Kekuasaan! Partai Gerakan Rakyat: Untuk Keadilan Sosial, Demokrasi Partisipatif, dan Keadilan Ekologis!

Penulis adalah Sekretaris Nasional – Serikat Perjuangan Rakat Indonesia (SPRI) Periode 2022-2027

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top