Tiga Dekade Liberalisasi Pendidikan, Menjamurnya Kampus Swasta, hingga Matinya Kebebasan Akademik

Pasca krisis moneter 1998 dan gelombang protes rakyat Indonesia mengakhiri kekuasaan tunggal Soeharto selama 32 tahun lamanya. Dengan begitu dimulailah era baru bernama Reformasi. Agenda reformasi mendorong tata kelola negara lebih demokratis yang menghargai Hak Asasi Manusia (HAM) dan mensejahterakan kelas pekerja menjadi parameter keberhasilan cita-cita reformasi yang digagas dua dekade silam.

Bukan tanpa dasar, cita-cita ini sebagai jawaban terhadap kepemimpinan Soeharto (orde baru), yang sarat akan otoritarian dan pro terhadap pasar bebas. Dalam hal ini, melalui liberalisasi 12 sektor jasa, yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk memfasilitasinya. Lewat putaran Doha (Doha around 1996) inilah sejumlah paket kebijakan yang menyengsarakan rakyat itu dibuat. Seperti komersialisasi pendidikan, komersialisasi kesehatan, hak atas kekayaan intelektual (HAKI), perjanjian pertanian, dsb. 

Pondasi negara yang di bangun secara demokratis puluhan tahun lamanya–bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia 1945–itu runtuh di tangan rezim orba yang kental dengan otoritarian dan birokratisme. Institusi pendidikan diproyeksikan dengan kurikulum yang menyeragamkan cara berpikir setiap pelajar, sehingga berdampak pada matinya nalar kritis dan inovasi bagi peserta didik.

Pembunuhan nalar kritis dan pembukaman kebebasan akademik tersebut dilegitimasi oleh rezim orba lewat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK). Mahasiswa dilarang melakukan aktivitas politik keluar dan hanya terkungkung pada kehidupan kampus. Kebijakan itu pada akhirnya membawa mahasiswa yang jauh dari realitas kehidupan rakyat yang sengsara oleh otoritarianisme orba.

Rezim Berganti, Tidak dengan Agenda Komersialisasi Pendidikan

Pasca reformasi, tuntutan dan semangat perubahan itu belum sepenuhnya tercapai. Alih-alih berupaya mewujudkan amanat reformasi, justru negara (rezim) tidak betul-betul memiliki niat untuk menyelesaikan cita-cita besar 27 tahun silam. Hal ini terlihat dalam setiap kebijakan rezim yang terus membawa pendidikan berorientasi pada kepentingan industri secara pragmatis dan sebagai alat hegemoni rakyat dalam melegitimasi kebijakan-kebijakan yang tidak pro pada kepentingan masyarakat umum. 

Hal ini diperkuat sejak adanya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20/2003. Salah satunya berbunyi:

Setiap warga negara ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” Pasal 12 (2) point b.

Dari sini negara secara perlahan meninggalkan tanggung jawabnya dalam hal penyelenggaraan pendidikan sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945 dimana seharusnya pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara wajib membiayainya. 

Rezim terus berganti, tapi tidak dengan orientasi pendidikan. Pada era presiden SBY institusi pendidikan didorong untuk mencari dan membiayai kebutuhannya dalam penyelenggaraannya. Hal ini diperkuat dengan adanya UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP No. 9/2009). Beberapa kampus ternama seperti UI, UGM, ITB, IPB, USU dst diberi wewenang dalam penyelenggaraan pendidikan dengan mekanisme nirlaba. Walau pada akhirnya UU BHP ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan seluruh pasal dalam UU tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.

Rezim SBY dengan segala kekuatannya tidak kehabisan cara untuk memeras rakyatnya khususnya di sektor pendidikan. Dua tahun pasca pembatalan UU BHP oleh MK, DPR bersama pemerintah merumuskan dan mengesahkan UU Perguruan Tinggi (UU PT No 12/2012) dimana pendidikan semakin jauh pada tujuan dan cita-cita sesungguhnya. Alih-alih untuk mewujudkan pendidikan sesuai amanat konstitusi, justru negara semakin menjerumuskan pendidikan hanya pada kepentingan profit semata.

Pasca pergantian Presiden SBY ke Presiden Jokowi agenda komersialisasi pendidikan terus berlanjut. Rezim ukt ini memang menjadi salah satu dalang dibalik signifikansi kenaikan biaya pendidikan tinggi negeri, apalagi swasta. Secara resmi tahun 2013 UKT diterapkan dengan tarif mulai Rp 0 – Rp 400.000 di kampus dengan status PTN BLU hingga Rp 0 – Rp 500.000. walau tak ada peningkatan di jumlah tarif di kategori 1. Namun, penambahan kategori terus terjadi setiap tahunya. Dari kategori I-V, hari ini terus bertambah menjadi VI bahkan hingga kategori IX seperti di beberapa kampus yang berstatus PTN BH contohnya Universitas Hasanuddin dan Universitas Indonesia.

Sumber: UKT UI 2024/2025
Sumber: UKT UNHAS 2023/2024

Salah satu regulasi hasil produk rezim Jokowi yang paling berdampak buruk. Yaitu terbitnya Permendikbud ristek No. 2/2024 tentang SSBOPTN (Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Negeri), dimana kampus berhak untuk menarik uang pangkal (Iuran Pengembangan Institut/IPI) sebesar 4 kali lipat dari jumlah BKT. Ini menunjukan bahwa pendidikan tinggi sangat eksklusif yang tak mampu dicapai dan diakses oleh masyarakat miskin. Walaupun regulasi ini tidak jadi diterapkan pada tahun 2024. Namun, rezim Prabowo (pengganti Jokowi) mencanangkan aturan ini diterapkan pada bulan Agustus atau September 2025 mendatang. 

Menjamurnya Kampus Swasta 

Berakhirnya kekuasaan SBY selama sepuluh tahun. Namun tidak mengakhiri Rezim UKT sebagai senjata utama dalam melanggengkan komersialisasi pendidikan.  Menjamurnya lembaga pendidikan swasta merupakan legitimasi abainya rezim-rezim yang berkuasa termasuk Jokowi dan Prabowo. Sejak 2013 jumlah kampus swasta sekitar 2900 meningkat signifikan selama sepuluh tahun terakhir tercatat ada 3600 kampus. Ini menunjukan bahwa negara memang sejak awal tidak pernah benar-benar memenuhi hak-hak warga negara dalam hal keterbukaan akses pendidikan yang terjangkau, alih-alih untuk menyelenggarakan pendidikan gratis.

Sumber: PDDikti 2015
Sumber: BPS 19 Februari 2025
Sumber: BPS 22 Februari 2024

Lebih dari 700 institusi Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dalam waktu 10 tahun terakhir. Keleluasaan pembukaan PTS ini tentu, akan melanggengkan privatisasi pendidikan dan secara tidak langsung menghilangkan kewajiban negara itu sendiri. Terlebih lagi negara tak membatasi PTS dalam menarik uang pangkal, ukt/spp dll. Sehingga, hal ini akan memperkecil peluang anak bangsa dalam mengakses pendidikan karena keterbatasan finansial. 

  Link and Match

 Kurikulum MBKM dengan mekanisme link and match sebelumnya digagas pada era orde baru. Dimana institusi pendidikan hanya dijadikan pusat produksi riset-riset untuk kepentingan industri secara pragmatis. Buka-tutup program studi atau jurusan mengikuti kebutuhan pasar tenaga murah siap pakai. Jurusan-jurusan dengan rumpun ilmu sosial humaniora menjadi korban dari kurikulum MBKM ini. Sebab jurusan-jurusan tersebut dinilai tidak dapat menjawab kebutuhan industrialisasi dan kepentingan global market atau pasar global. Lain halnya dengan rumpun ilmu sains dan teknologi. Program studi ini menjadi komoditas terlaris di semua perguruan tinggi, karena sejalan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. 

Selama kurikulum MBKM ini di terapkan banyak mahasiswa menjadi korban dari program magang yang lebih mirip dengan perbudakan. Para peserta dipaksa bekerja dengan waktu yang relatif sama dengan buruh tetap.  Namun, tidak dipenuhi hak-haknya sebagai pekerja upah dan keselamatan kerja. Tidak sedikit pula yang menjadi korban magang bodong hingga foreign jobs atau perdagangan orang berkedok magang di Jerman 2024 lalu. Sedikitnya ada 39 kampus yang terlibat dalam tindakan TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) ini. 

Alih-alih negara dan kampus bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak korban TPPO, justru secara serampangan kampus-kampus itu berdalih bahwa itu murni keteledoran korban dan kampus tidak memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab. Padahal kampus sendirilah yang memiliki wewenang untuk memberikan persetujuan kepada mahasiswa yang mengampu mata kuliah magang tersebut. Tanpa persetujuan dari pihak kampus mahasiswa tentu tak bisa mengikuti program magang di Jerman apalagi membawa nama besar kampus-kampus culas ini.

Kebebasan Akademik dan Matinya Demokrasi Kampus!

Kultur kampus yang anti-demokrasi hari ini tidak terlepas dari mengakarnya NKK/BKK yang diterapkan oleh rezim orba beberapa dekade silam. Kemudian kontrol negara terhadap kampus di perkuat lewat andil negara secara langsung, dalam pemilihan rektor di kampus-kampus (baca kuota 35% suara menteri dalam pemilihan rektor). Artinya orang-orang yang akan menjadi rektor adalah mereka yang memiliki kedekatan khusus dan kesamaan garis politik dengan menteri atau presiden. Tak heran jika setiap ada kebijakan culas yang diproduksi oleh negara seluruh institusi pendidikan (Perguruan tinggi Negeri) memilih diam. Bahkan ada yang secara eksplisit mendukung kebijakan yang dibuat oleh negara yang tidak pro terhadap kepentingan rakyat umum.

Kebebasan akademik memang telah lama mati. Sepanjang 2024 saja belasan BEM kampus dibekukan karena lantang mengkritisi kebijakan negara. Alih-alih mendukung sebagai tanggung jawab moral terhadap pengetahuan yang dimilikinya. Kampus justru mendorong kebijakan yang serupa untuk diterapkan di kampus-kampus, sebagai upaya membatasi kebebasan akademik setiap masyarakat kampusnya. Ketika negara mengesahkan KUHP tiga empat tahun lalu. Yang di dalamnya terdapat pasal karet, semisal penghinaan presiden, izin demonstrasi yang harus dilayangkan kepada pihak kepolisian H-3 sebelumnya demonstrasi di selenggarakan dan sebagainya. Dengan sikap yang angkuh dan tak tau malu kampus mengeluarkan aturan yang serupa, demonstrasi harus mendapatkan izin dari birokrasi kampus. Jika tidak mahasiswa tersebut akan diberikan sanksi akademik baik berupa skors bahkan drop out.

Sederet fakta menunjukkan bahwa kampus benar-benar mati ruang demokrasinya. Wajah pendidikan kita hari ini pun tak jauh beda dengan era orba. Partisipasi mahasiswa dalam pengambilan kebijakan kampus tak pernah digubris nya, represif yang kian masif di mana-mana dengan senjata yang bervarian (seperti SE, SK rektor hingga aparat keamanan untuk membungkam mahasiswa). Kebebasan akademik dikurung dan hanya menjadi setumpuk teori yang tak bernilai, yang olehnya juga tak bisa kita implementasikan akibat adanya pembungkaman dan hilangnya hak atas kebebasan akademik.

Revisi UU Sisdiknas, Pendidikan Mensejahterakan, Setara, dan Inklusif

Dua dekade berlalu, UU Sisdiknas belum juga direvisi. Pada 2022 lalu sebenarnya ada wacana revisi UU Sisdiknas yang diusung oleh rezim Jokowi. Dengan menggunakan mekanisme omnibus law RUU tersebut akan menggabungkan tiga regulasi, di antaranya UU Sisdiknas 20/2003, UU Guru dan Dosen 14/2005, UU Perguruan Tinggi 12/2012. Namun wacana itu berakhir di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Baleg menganggap terdapat banyak point substansial yang tidak dicantumkan dalam revisi tersebut, sehingga wacana revisi UU Sisdiknas ditolak.

Setelah gagal direvisi di rezim sebelumnya, kini muncul inisiasi baru dari pemerintah agar segera merevisi uu sisdiknas dengan menambah UU Pesantren 18/2019 untuk menggenapi tiga regulasi lainnya dengan mekanisme omnibus law. Tentu ini angin segar bagi dunia pendidikan, karena ada upaya kontekstualisasi kebutuhan pendidikan lewat revisi uu sisdiknas. Namun, yang perlu kita khawatirkan adalah revisi uu ini tak mampu menjawab kebutuhan tenaga pendidik. Mengingat masih banyak hak-hak guru dan dosen yang belum dipenuhi seperti tukin yang tak kunjung diberikan dan nasib guru honorer yang tak memiliki kepastian kerja dan terancam dirumahkan akibat pembatasan pendaftaran Data Pokok Pendidikan (Dapodik) sejak tahun Desember 2023.

Situasi semacam ini seharusnya menjadi konsen negara dalam merevisi UU sisdiknas kedepannya.  Ketika negara tidak memiliki keseriusan dalam menjawab nasib para tenaga pengajar bukan tidak mungkin, visi pendidikan nasional kita mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan kehidupan umum akan semakin jauh untuk kita gapai.

Pendidikan emansipasi adalah kebutuhan mendesak untuk segera diatasi. Salah satu masalah dunia pendidikan kita adalah mengakarnya budaya kekerasan, apalagi kekerasan seksual. Kementerian PPPA pada April 2024 mencatat, ada lebih dari 2.600 kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan tinggi. Tren peningkatan kasus kekerasan seksual di kampus bisa bervarian penyebabnya. Mulai dari kurangnya edukasi seksual hingga relasi kuasa yang melekat dalam diri pelaku. Dari data yang dicantumkan diatas, bisa kita simpulkan bahwa pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusian. 

Parahnya lagi ketika pelaku kekerasan seksual itu didominasi oleh tenaga pengajar (Dosen, Guru, Mentor, dst) yang notabenenya dianggap sebagai orang-orang yang terdidik. Kekerasan semacam ini kenapa bisa terus langgeng sampai hari ini, tentu disebabkan oleh tidak adanya transparansi, pemberian hukuman hingga penyepelean terhadap hak-hak korban. Mekanisme penyelesaian yang buruk ini, salah satunya karena institusi pendidikan sendirilah yang menutup-nutupi kejahatan tersebut dengan dalih menjaga marwah serta nama baik institusi. 

 Substansi dalam revisi uu sisdiknas juga perlu menambahkan pendidikan yang inklusif. Sebab, masalah biaya pendidikan kita yang mengalami peningkatan secara konsisten ini menjadi dalang minimnya partisipasi masyarakat miskin dalam hal mengakses pendidikan berkualitas. Namun, ditengah signifikansi kenaikan biaya pendidikan. Negara secara sadar menawarkan pinjaman dana pendidikan berbunga (student loan). Wacana ini mulai booming di tahun 2024. Dan betul 2025 akan segera diterapkan oleh negara. Padahal negara mengetahui bahwa mekanisme student loan yang pernah diterapkan di negara-negara maju seperti Chile, Amerika Serikat yang terbukti gagal ini justru diterapkan di Indonesia dan menganggap sebagai solusi atas tidak terjangkaunya biaya pendidikan.

Maka teranglah bagi kita tentang slogan Indonesia Emas 2045, menjadi Indonesia Cemas. Tanpa Pendidikan yang mensejahterakan, setara dan inklusif bukan bonus demografi yang kita capai. melainkan darurat demografi akibat menumpuknya jutaan manusia tanpa pekerjaan layak dan pendapatan yang memadai.

Penulis: Ardan Hidayat
Editor: Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top