TNI, Sana Balik ke Barak! Tolak Dwifungsi Militer!

Isi kepala di balik topi baja

Semua serdadu pasti tak jauh berbeda

Tak peduli perwira bintara atau tamtama

Tetap tentara….

Persetan siapa saja musuhnya

Perintah datang karang pun dihantam!

(Serdadu-Iwan Fals)

“Karena kalau kita lihat dari survei-survei, media apapun, Pak, lembaga survei apapun. Yang paling dicintai oleh rakyat itu adalah TNI. Yang paling dipercayai rakyat itu adalah TNI. Bahkan institusi DPR pun di bawahnya. Namun kenapa ketika bicara tentang perubahan revisi undang-undang ini (TNI) semuanya bersikap seolah-olah TNI itu tidak layak untuk kita perjuangkan?” Statement tersebut disampaikan politisi Golkar, Nurul Arifin, ketika Komisi 1 DPR sedang Raker dengan Panglima TNI beserta KASAD, KASAL, KASAU terkait revisi UU TNI. 

Statement itu mengandaikan bahwa revisi UU TNI adalah keniscayaan karena lembaga ini yang paling dicintai dan dipercayai oleh rakyat. Oleh karena itu, melalui revisi UU TNI,  akses kepada prajurit TNI aktif terbuka luas untuk dapat menduduki jabatan di lembaga-lembaga sipil, tugas TNI terkait operasi militer di luar perang, dan memperpanjang masa pensiunnya.

Tapi apakah benar upaya untuk memperjuangkan TNI adalah dengan mendukung revisi UU TNI? Seperti yang disampaikan oleh Komisi I DPR. Saya rasa ada yang keliru dengan cara berfikir pejabat kita. Sikap tegas menolak TNI untuk dapat berpartisipasi aktif menjabat dalam institusi-institusi sipil adalah upaya kita mengapresiasi dan mendorong TNI menjadi tentara yang profesional dan fokus pada tugasnya, yaitu fungsi pertahanan, melakukan kajian, mengatur semua pertahanan dengan baik, dan dapat diminta pertanggungjawabannya kalau terjadi sesuatu. Singkatnya menjadikan tentara sebagai tentara. 

Di satu sisi,  tugas masyarakat sipil adalah membangun sistem politik dan ekonomi yang membuat tentara tumbuh dan berkembang sebagai tentara. Bukan malah melibatkan mereka (tentara) dalam institusi-institusi sipil, dengan mengklaim kapasitasnya (tentara) lebih mumpuni sehingga memberikan akses kepada mereka untuk mengerjakan sesuatu yang bukan pekerjaanya.

Dikatakan juga bahwa survei-survei menunjukan di era reformasi, TNI adalah salah satu lembaga yang dipercayai oleh publik. Alasannya sebenarnya sederhana, kalaupun survei itu benar adanya. Karena, salah satu agenda reformasi adalah mereformasi institusi TNI supaya tidak terlibat dalam kehidupan politik/sipil dan mendorong mereka menjadi tentara profesional. Jadi kepercayaan publik yang tinggi adalah buah kebijakan ‘kembali ke barak,’ dihapusnya dwifungsi ABRI, dan visi profesionalisme militer. Bukan merupakan suatu yang taken for granted. Walaupun kalau ditanya, apakah reformasi TNI berhasil atau tidak, itu hal lain lagi. 

Gagalnya Reformasi TNI dan Upaya Mengembalikan Dwifungsi 

Kenapa Reformasi TNI dikatakan gagal? Karena tak ada perubahan yang signifikan kecuali mereka dilarang melakukan bisnis dan ikut berpolitik secara eksplisit atas nama institusi. Mengutip Made Supriatma, “Mereka (tentara) masih bermimpi bahwa mereka akan kembali ber-dwifungsi, karena kalau kita melihat di zaman Orde Baru menjadi tentara itu adalah one way ticket untuk menjadi apa saja. Dulu bahkan ada semacam lelucon, “kalau mau jadi gubernur, masuknya kemana? Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekarang Akademi TNI). “Kalau mau jadi bupati? Ke Akabri juga.” “Kalau mau jadi politisi? Ke Akabri juga.” “Kalau mau jadi pengusaha? Ke Akabri juga.” Sesuatu yang tidak lagi terjadi saat ini.” 

Dwifungsi ABRI sebenarnya tidak seratus persen hilang. Hal itu dapat dilihat dari masih eksisnya struktur teritorial. Dengan fungsi teritorial ini memungkinkan TNI bisa berlaku sebagai partai politik. Bahkan salah satu tujuan awalnya dulu untuk mengimbangi penetrasi PKI ke berbagai daerah dan ke tubuh militer lewat strategi pembasisan dan insureksi. Dengan struktur teritorial saat ini, mereka juga bisa melakukan apa saja: masih mempunyai pengaruh politik dan membangun relasi bisnis. Fungsi seperti ini sebetulnya tidak ada di negara lain dan tidak ada gunanya–untuk tugas pertahanan–saat ini. 

Dengan tidak dibubarkannya struktur teritorial ini pasca reformasi, sebenarnya sudah pertanda kalau TNI tidak benar-benar mau meninggalkan panggung politik dan ikut campur urusan sipil. Sebenarnya praktek-praktek masih ada, mulai dari membekingi bisnis dari level perusahaan multinasional sampai usaha UMKM; bisnis yang legal maupun yang ilegal. 

Tentu pada periode Jokowi dan Prabowo peran aktif mereka lebih eksplisit lagi, mulai dari menginterpretasikan ulang tentang kerja-kerja pertahanan: terlibat di food estate, Makan Bergizi Gratis (MBG), Proyek Strategis Nasional (PSN), dsb.; pengangkatan tentara aktif pada jabatan-jabatan strategis BUMN; menjadi Sekretariat Kabinet (Seskab); dan paling baru adalah pengerahan Kendaraan Tempur (Ranpur) serta Koopsus dalam mengawal pembahasan revisi UU TNI–yang akan menguntungkan mereka–di hotel Fairmont supaya tidak diketahui oleh publik. Jadi secara de facto praktek dwifungsi militer itu tidak pernah mati di Indonesia, selama ini hanya tidak eksplisit saja. Upaya revisi UU TNI itu hanyalah penyempurna dan justifikasi secara formal atas praktek mereka yang sudah ajeg berjalan. Lalu apa kita masih perlu bertanya, apakah revisi UU TNI jalan bagi kembalinya dwifungsi ABRI?

Kenapa Harus Tolak Revisi UU TNI?

Upaya melakukan revisi UU TNI tanpa ada urgensi yang jelas, malah akan membuat TNI jadi alat politik kekuasaan alih-alih tentara yang profesional. Ini sangat jelas dalam salah satu Pasal yang mengatur tugas perbantuan yang dapat dilakukan TNI. Antara lain operasi militer selain perang (OMSP) dijalankan atas dasar kebijakan dan keputusan politik negara, diatur lebih lanjut lewat Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). Pada draft UU yang beredar di jelaskan bahwa salah satu fungsi TNI “membantu tugas pemerintah di daerah” diantaranya adalah mengatasi masalah akibat pemogokan–doesn’t that sound familiar to us? Tidak lupa proses pengesahannya UU ini juga sangat ugal-ugalan, mulai dari dilakukan secara sembunyi-sembunyi, melibatkan TNI dalam prosesnya–yang jelas-jelas tidak diperbolehkan, memobilisasi buzzer di sosial media untuk mendistorsi informasi dan mengintimidasi mereka-mereka yang kritis. Dari semua proses itu, sudah jelas UU ini hanya berisikan mufakat jahat. 

Ini bukan pertama kalinya, pemerintah secara sembunyi-sembunyi dari publik mengesahkan suatu kebijakan. Hampir semua kebijakan bermasalah zaman Jokowi proses pengesahannya demikian: revisi UU KPK, Omnibus Law, RKUHP,  dan masih banyak lagi. Cara-cara licik seperti itu masih dilanjutkan oleh rezim Prabowo hari ini. Kita sudah tau muaranya kemana aturan-aturan tersebut, yang jelas tidak mungkin untuk kepentingan rakyat. 

Lagipula praktek-praktek di dunia militer ini memang tidak pernah kompatibel dengan demokrasi yang menuntut harus berisik dan bising. Karena senjata tidak digunakan untuk berdialog, karena memang gunanya bukan itu. Negara demokrasi mengharuskan adanya supremasi sipil, tiap lembaga dan unsur didalamnya punya fungsi cek and balance, akuntabilitas, transparansi yang mana ini membutuhkan dialog bahkan debat, supaya kebijakan atau praktek bernegara yang dilakukan merupakan representasi untuk mengakomodir kepentingan mayoritas rakyat dari berbagai macam golongan dan kepentingan–itu harus bottom-up. Sedangkan tentara itu dipersiapkan untuk bekerja secara efektif di medan tempur dengan rantai komando yang jelas dari atas (top-down) bukan dialog apalagi mengandaikan adanya semacam debat. Secara nature berbeda dan memang ada di wilayah yang begitu kontras.

Lalu apakah tentara tidak bisa mengisi struktur di lembaga sipil sama sekali padahal secara kapasitas sangat mumpuni dan dibutuhkan? Bisa saja, tapi syarat mutlak ketika seorang prajurit aktif ingin mengisi struktur di lembaga sipil, ia harus menanggalkan seragam dan senjatanya (statusnya) sebagai tentara, harus ada proses menjadikannya warga sipil terlebih dahulu, tidak boleh rangkap. 

Itupun hal yang sama terjadi di negara-negara lain, misal di Amerika, setelah perwira-perwira disana merasa cukup untuk mengabdi–biasanya karena mereka tau karirnya akan stagnan, di level Kolonel misalnya, maka mereka akan keluar. Biasanya pemerintah menawarkan kepada mereka untuk memilih bidang keterampilan apa setelah pensiun. Banyak yang dimasukkan ke sekolah manajemen dan perusahaan. Perusahaan sangat gembira, menyekolahkan mereka, membuat transisi dari kehidupan militer ke kehidupan sipil. Praktek ini tidak terjadi di Indonesia. 

Kita juga sudah punya pengalaman selama tiga dekade lebih, bagaimana mencekamnya situasi ketika TNI begitu aktif di ruang-ruang kehidupan sipil. Itu bahkan menjadi salah satu catatan kelam dalam sejarah bangsa ini. Walaupun paradoks nya memang “satu-satunya yang kita pelajari dari sejarah, adalah kita tidak pernah belajar dari sejarah” makanya sekarang kita sampai di titik ini: UU TNI akan direvisi dan dwifungsi TNI akan dilegitimasi oleh negara. 

Tapi kalau ingin berbicara bagaimana kita sebagai sebuah bangsa akan maju kedepan, UU TNI yang akan menjadi legitimasi dwifungsi TNI bukanlah bagian yang diperlukan, itu justru akan menghambat. Salah satu syarat kalau kita sebagai sebuah bangsa mau untuk maju dan berbicara jauh kedepan, Indonesia Emas 2045 misalnya, kita harus memastikan bahwa TNI kita harus menjadi tentara profesional, bukan sibuk ikut-ikutan politik dan urusan sipil, maka itu TNI harus balik ke barak saja. Itu adalah bentuk kepedulian paling konkret kita terhadap TNI sebagai penjaga ketahanan negara ini. Biarkan urusan politik diurus oleh orang sipil saja. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top