May Day 2025: Satu Mimpi, Satu Barisan, Menyemai Harapan

Mayday atau hari buruh bagi kami organisasi yang tergabung di Gebrak adalah hari momentum perjuangan kaum buruh, itu harus selalu kita gelorakan.[…] Tidak ada cukup alasan untuk rakyat yang merasakan kebijakan buruk dan perlakuan represif dari negara selama ini untuk kemudian berdekatan dan bersatu padu dengan kekuasaan yang menindas. Justru rakyat harus membangun persatuan nasional antara rakyat tertindas lainnya demi tercapainya kesejahteraan”- Sunarno, Ketua Umum KASBI

Pada May Day tahun ini, terdapat beberapa hal menarik yang terjadi, diantaranya terdapat beberapa serikat buruh di Indonesia akan merayakan momentum tersebut di Monas, sambil mengundang Prabowo untuk menyampaikan orasi di hadapan ribuan buruh. Di antara mereka bahkan sampai membandingkan momen itu dengan Sukarno yang berorasi pada momentum May Day di hadapan ribuan buruh pada masa orde lama. 

Padahal pada tahun 2023 lalu, Prabowo sendiri mengatakan supaya kaum buruh tidak menuntut kenaikan upah kepada pengusaha. Selain itu partainya, Gerindra, adalah salah satu partai yang paling ngotot ketika mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja di tahun 2020 lalu, yang mana kita ketahui undang-undang tersebut adalah masalah bagi kaum buruh. 

Secara historis sikap Prabowo terhadap kaum buruh di Indonesia sudah jelas, bahwa dia tidak memperdulikan nasib dan kesejahteraan kaum buruh; bahkan secara kepentingan bukan hanya berbeda tapi bertentangan sama sekali. Lalu orasi atau pidato macam apa yang diharapkan akan keluar dari mulutnya ketika May Day di Monas nanti?. Mengharapkan dia akan mengatakan mencabut Omnibus Law?

Apa yang dilakukan oleh serikat-serikat buruh yang menyentarlakan aksi May Day tahun ini di Monas sambil mengundang Prabowo, bukan hanya keliru, melainkan penghianatan bagi kaum buruh itu sendiri. Mendistorsi May Day sebagai momentum perlawanan menjadi hari untuk para buruh menggali kuburnya sendiri. 

Lebih jauh, gembar-gembor para serikat tersebut yang akan memobilisasi ratusan ribu anggotanya ke Monas dijadikan justifikasi bagi aparat kepolisian untuk menghalang-halangi perayaan May Day di tempat lain di Jakarta dengan alasan lalu lintas. Itu dialami oleh anggota aliansi Gebrak dari daerah-daerah di luar Jabodetabek, di mana mereka dihalang-halangi bahkan sampai PO busnya diintimidasi untuk tidak mengantarkan mereka ke Jakarta, dsb. 

Dalam momentum May Day, harusnya serikat buruh mempelopori perjuangan rakyat yang mana itu harus mengambil sikap berlawan dengan kekuasaan. Mulai dari persoalan buruh sendiri, kemerosotan demokrasi, PSN, dsb., hal-hal yang selama ini disebabkan oleh pemerintah, tentu saja termasuk Prabowo sendiri. 

Basa-basi orasi seorang presiden dalam acara hari buruh yang dirayakan bersama buruh tidak akan merubah apapun. Mengapa, sebab kebijakannya berbanding terbalik dengan upaya mensejahterakan buruh melalui deregulasi (baca: efektifitas iklim investasi) dan insentif kepada pengusaha alih-alih kepada buruh. Berbagai masalah normatif ketenagakerjaan masih menjadi momok bagi kehidupan buruh sehari-hari, masalah kepastian kerja, keselamatan kerja, kelayakan kerja dan jaminan atas perubahan teknologi yang cepat. Negara hanya melihat sisi pengusaha yang butuh dipastikan kesehatan investasi dibanding buruh yang terancam oleh kondisi kerja yang buruk.

Buruh Indonesia Dalam Putaran Fleksibilitas Tenaga Kerja

Sejak Omnibus Law Cipta Kerja disahkan, alih-alih banyak menciptakan banyak lapangan kerja, diberlakukannya undang-undang itu justru bergerak sebaliknya. Semangat easy hiring, easy firing telah menciptakan sistem kerja fleksibel. Selain tidak ada batasan jenis pekerjaan yang dapat di outsourcing-kan dan perubahan skema kerja kontrak, Omnibus Law Cipta Kerja juga mengakibatkan buruh menjadi rentan untuk di-PHK.

Fleksibilitas kerja terbukti merugikan buruh. Berbagai alasan ekonomi dan politik yang tidak pasti seringkali mengorbankan buruh untuk menyelamatkan bisnis mereka. Seperti dalam beberapa dekade berbagai isu mulai dari berhentinya suplai rantai produksi, perang dagang, kenaikan Energi dunia (Minyak-Gas) sering dijadikan alasan bagi perusahaan untuk melakukan PHK kepada pekerja. Sebut saja seperti para buruh textile dan garmen yang mengalami PHK dengan alasan tersebut. 

Kiwari, PHK itu banyak dilakukan ketika Ramadhan 1446 H. Pada hari pertama berpuasa, 1 Maret 2025, perusahaan tekstil raksasa PT Sri Rejeki Isman (Sritex), tutup total setelah tak sanggup membayar hutang yang jumlahnya mencapai Rp 26 Triliun. Tutupnya perusahaan yang mengakibatkan retina mata kanan Wiji Thukul terkelupas itu mengakibatkan 12 ribu buruhnya diPHK.

Di Garut, Jawa Barat, PT Danbi Internasional mem-PHK 2000 buruh dengan alasan perusahaan tidak mendapatkan order sehingga pengiriman barang ke luar negeri berkurang. Di Cimahi, ratusan buruh juga mengalami PHK setelah PT Bapintri mengklaim mengalami kerugian. Parahnya, perusahaan akan memberikan pesangon dengan mencicil selama empat setengah tahun. 

Angka PHK pada Ramadhan ini menambah jumlah PHK pada bulan Januari – Februari  yang mencapai 18.610 kasus. Maraknya kasus PHK ini merupakan imbas dari fleksibilitas kerja yang diatur dalam Omnibus Law Cipta Kerja dan peraturan turunannya.

Dalam PP 35/2021 Pasal 36 Huruf b menyatakan “Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian”.

Selain itu, dalam PP 35/2021 Pasal 44 menjadikan efisiensi (PHK dalam bahasa halus) yang dilakukan oleh perusahaan bisa didasarkan oleh potensi penurunan produktivitas perusahaan. Dengan dasar itu, pengusaha dengan mudah mengorbankan buruh untuk menyelamatkan perusahaannya. Ditambah kerugian dan penurunan produktivitas itu tidak melalui proses audit oleh dinas ketenagakerjaan. 

Di tengah badai PHK dan pekerjaan formal yang kian susah didapatkan, pekerjaan informal menjadi solusi instan yang ditawarkan pemerintah. Gig economy yang menciptakan pekerjaan berbasis online nyatanya tidak membuat buruh berada dalam zona hidup layak. 

Sebagai contoh pengemudi Ojol, mereka dihadapkan status kemitraan yang semu. Status mitra dalam hubungan kerja diatur dalam UU No 20/2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Status tersebut mengkondisikan kedua belah pihak memiliki hak untuk setara, saling menguntungkan, membutuhkan, dan tidak ada yang menguasai pihak lain.

Akan tetapi status kemitraan itu menjadi semu, lantaran perusahaan platform lebih memiliki kontrol terhadap pengemudi. Dalam riset di buku Menyoal Kerja Layak dan Adil dalam Ekonomi Gig di Indonesia, tiga perusahaan Ojol yaitu Gojek, Grab, dan Maksim tidak memenuhi kriteria kerja “adil”, yaitu: pembayaran sesuai upah minimum, kondisi kerja yang adil, kontrak kerja yang adil, dan manajemen yang adil.

Kondisi tersebut menimbulkan keinginan pengemudi Ojol untuk mendapatkan status sebagai pekerja formal. Survey menunjukkan pada 2020 sejumlah 53,1% pengemudi Ojol setuju status beralih dari mitra menjadi pekerja formal, dan keinginan itu meningkat empat tahun kemudian menjadi 58%.

Perjuangan status kerja itu tercermin pada tuntutan pemberian THR bagi pengemudi Ojol. Perjuangan itu membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan tentang “Pemberian Bonus Hari Raya (BHR) Keagamaan Tahun 2025 bagi Pengemudi dan Kurir pada Layanan Berbasis Aplikasi”. Dalam surat edaran itu, pengemudi Ojol diberikan BHR sebesar 20% dari rata-rata pendapatan per bulan selama 12 bulan terakhir, meleset jauh dari tuntutan 100%.

Selain itu, jenis pekerjaan yang tidak memiliki jaminan kesejahteraan adalah pekerja lepas atau freelance. Ilusi bisa kerja dimanapun dan kapanpun menjadikan pekerja lepas mengalami eksploitasi berlebih, seperti jam kerja yang panjang, upah di bawah UMK, perlindungan kerja, jaminan kepastian kerja, hingga sulitnya untuk berserikat. Hal itu tentunya berimbas kepada masa depan pekerja lepas yang jumlahnya mencapai 41,6 juta jiwa. 

Iklim fleksibilitas tenaga kerja ini selain mengakibatkan kerugian ekonomistik dan ketidakpastian kerja, juga berimbas pada gerakan buruh yang kian terdesentralisasi. Salah satu penyebabnya adalah Omnibus Law Cipta Kerja yang mendelegasikan peraturannya untuk dibahas dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama, menjadikan perjuangan serikat buruh secara tidak langsung menjadi terkotak-kotak. 

Solidaritas buruh yang mulai melemah pasca Covid-19 menjadikan aksi-aksi seperti mogok nasional, geruduk pabrik, dan aksi kawasan jarang dilakukan. Di satu sisi serikat buruh mengupayakan agar Omnibus Law Cipta Kerja tidak berlaku sepenuhnya di perusahaan melalui perundingan-perundingan. Namun, di sisi lain kekuatan serikat buruh pun beragam di tiap perusahaan. Terlebih bagi pekerja lepas dan Ojol yang baru menyemai kesadaran untuk berserikat.

Tantangan yang dihadapi oleh serikat buruh juga terkandung dalam UU TNI yang baru disahkan secara mendadak pada 20 Maret 2025. Pasalnya, dalam undang-undang itu TNI memiliki peran untuk mengatasi pemogokan buruh melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Hal ini membangkitkan memori kolektif terkait represifitas militer ketika menangani pemogokan di Sidoarjo pada 1993 yang mengakibatkan Marsinah tewas.

Menyemai Harapan 

Masa-masa mendatang memang tidak akan semakin mudah, ancaman ekonomi bagi tiap buruh, ancaman perubahan teknologi, ancaman represi hingga ancaman ruang demokrasi sudah terlihat gejalanya. Akan tetapi hal itu dapat diatasi jika bersama-sama. Solidaritas dalam berjuang adalah dorongan yang dibutuhkan untuk saling berbagi harapan atas perjuangan di masa mendatang. Ini pernah dilakukan ketika menghadapi Covid-19, buruh bersama gerakan rakyat lainnya berhasil saling berbagi untuk tetap bertahan dari kesulitan masa itu.

Kesatuan buruh dalam memperjuangkan hak merupakan tindakan masuk akal yang bisa dilakukan saat ini. Menaruh harapan kepada “kebaikan” pemerintah saat ini hanya akan menambah putus asa. Namun demikian, negara memang patut ditagih dengan tuntutan dan perjuangan untuk memastikan kepentingan buruh dijadikan dasar pembentukan kebijakan. Dibutuhkan sebuah gagasan dan tindakan besar untuk merebut kembali kemenangan yang lebih besar daripada merayakan bersama presiden. 

Perubahan mendasar di bidang ekonomi politik bukan saja menjadi momentum bagi penguasa dan pengusaha untuk meraih laba. Namun juga titik tolak perubahan bagi gerakan buruh untuk menjadikan perjuangan kelas dapat diraih. Dengan menyempurnakan tindakan tidak saja tuntutan atas perbaikan UU Ketenagakerjaan saja yang dapat dimenangkan. Nilai tawar buruh yang selama ini melorot juga bisa dipulihkan sehingga penguasa dan pengusaha tidak lagi sewenang-wenang kepada buruh. Kemenangan-kemenangan di berbagai daerah perlu dirayakan menjadi sebuah dorongan bahwa perubahan masih mungkin dilakukan. 

Perjuangan buruh di tingkatan daerah adalah titik api yang perlahan menjalar membakar jerami. Kemenangan pemogokan Serikat Buruh Progresif Sejahtera (SBPS)  di Klaten menghadapi ancaman PHK dan pemberangusan serikat. Kemenangan perjuangan FPBI PT. Kyowa dalam perundingan perjanjian kerja bersama yang mampu menghalau Omnibus Law Cipta Kerja dalam perjanjian kerja. 

Kemenangan perjuangan melawan PHK pengurus Serikat PT. Sintertech oleh FPBI. Pembentukan Serikat Pekerja Kampus, termasuk di UGM dan banyak kampus lainnya. Kesadaran pembentukan serikat di NGO. Kesadaran pekerja film untuk berserikat dan mengadvokasi pembatasan waktu kerja serta tumbuhnya serikat-serikat buruh di luar sektor manufaktur.

Selain perjuangan di lingkungan ketenagakerjaan, buruh juga terlibat dalam solidaritas memperjuangkan hak mendapat pekerjaan di Kabupaten Bekasi, turut andil dalam perjuangan masyarakat adat di Kalimantan dan pekerja kontrak pemerintah–Pengawas KB–oleh KASBI. Ini perlu diapresiasi sebagai bagian dari semangat perjuangan kelas buruh yang tidak saja memperjuangkan hak normatif ketenagakerjaan. 

Berbagi semangat kemenangan tersebut perlu dikumandangkan, memberikan ruang bersama saling sumbang saran dan semangat bersama. Hal ini perlu dilakukan oleh buruh dari tingkatan basis atau antar daerah sebagai upaya saling menjaga semangat dan berbagi harapan. Solidaritas antar buruh harus menjadi dasar bagi kelas buruh merontokkan dominasi elit serikat yang bersekongkol dengan penguasa dan pengusaha. 

Persatuan kelas buruh dengan kelompok masyarakat yang termarjinalkan lain–buruh tani, pelajar, mahasiswa, masyarakat adat, dll–dimuarakan dalam sebuah konsolidasi gagasan. Konsolidasi itu digunakan untuk saling berbagi pengalaman, persamaan perjuangan, dan berefleksi perbedaan. Dalam ruang untuk membagi rupa harapan dan mengisi narasi tanding seperti kawasan pabrik, perkampungan, lahan pertanian, kampus dan wilayah-wilayah untuk menyemai harapan bersama.

May Day 2025 menjadi momentum bersama untuk menyemai harapan tentang perubahan pada waktu mendatang. Dunia sudah jauh berubah dari 2 dasawarsa lalu, mimpi perubahan yang disemai di masa itu harus dapat dilampaui oleh gagasan dan kekuatan pembesaran dengan ide membangun masyarakat yang adil, sejahtera, demokratis dan berbudaya partisipatif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top