100 Tahun Pramoedya Ananta Toer: seperti aksi massa, membangun partai politik progresif adalah perlawanan

Pramoedya Ananta Toer adalah seorang sastrawan yang berani dan tangguh. Di tengah otoritarianisme rezim Orde Baru, karya-karyanya dibredel. Ia dipenjara tanpa proses peradilan, dan hak politiknya dicabut. Apa yang membuatnya istimewa? Pram menolak dijinakkan. Ia kerahkan segala tenaga untuk memukul balik Soeharto. Tidak sendiri, melainkan bersama gerakan rakyat dan banyak aktivis pro-demokrasi. Bukan dari balik meja, tapi dari aktivitas politik konkret. Cuplikan dari salah satu karya Pram memperjelas kerja politik yang dimaksud, bahwa “Manusia pun bisa mengusahakan lahirnya syarat-syarat baru, kenyataan baru, dan tidak hanya berenang di antara kenyataan-kenyataan yang telah tersedia.”

Presiden otoriter yang dihadapi Pram memang tumbang, seturut transformasi politik membuka kran demokratisasi dan desentralisasi. Begitu pun gerakan buruh, tani, pemuda-mahasiswa, dan sipil memiliki ruang yang dibutuhkan untuk berkembang. Namun perubahan itu tidak mencegah rekonsiliasi dan konsolidasi ulang elit-elit sisa Orde Baru, dimana mereka berhasil beradaptasi, merebut kekuasaan, dan menggembosi hasil Reformasi. 

Mereka menjelmakan diri sebagai oligarki yang berorientasi pada akumulasi kapital dan sirkulasi kekuasaan yang hanya berpusar di antara mereka. Seturut dengan kebangkitannya, oligarki yang baru tumbuh meloloskan sejumlah paket kebijakan kapitalisme-neoliberal yang menyubordinasikan Negara di bawah fundamentalisme pasar; memprivatisasi berbagai sektor publik vital, seperti pendidikan dan kesehatan; dan mengerdilkan gerakan rakyat multi-sektoral. 

Dua dekade kekuasaan Jokowi menjelaskan bagaimana sistem ekonomi dan politik bekerja untuk memompa kekayaan pemilik modal. Tak peduli supremasi hukum dan konstitusi, ia memproduksi UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU KUHP, dan sederet kebijakan anti-rakyat lainnya. Segera kehidupan rakyat yang sudah terpuruk sebelumnya diperdalam dengan politik upah murah, ketidakpastian kerja, pemberangusan serikat buruh, perampasan tanah dan perusakan lingkungan secara masif, komersialisasi dan liberalisasi pendidikan, serta berbagai pelanggaran HAM yang diorganisir aparatus kekerasan negara. Walaupun kekuasaan telah beralih ke tangan Prabowo, adakah yang percaya ia akan berpihak pada kepentingan rakyat? 

Gerakan rakyat multi-sektoral merespons serangan brutal oligarki di atas. Reformasi Dikorupsi dan Mosi Tidak Percaya menjadi saksi kebangkitan elemen gerakan buruh, tani, pelajar, pemuda-mahasiswa, perempuan, dan rakyat miskin kota. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat, energi gerakan ini telah habis sebelum kebijakan anti-rakyat tersebut dibatalkan seutuhnya. Alih-alih demikian, oligarki mengesahkan kebijakan-kebijakan tersebut dengan cara inkonstitusional.

Memang terjadi sejumlah kemenangan kecil, misalnya, pada momen Peringatan Darurat dan Penolakan Kenaikan PPN 12%. Akan tetapi, hal itu masih sangat terbatas dampaknya bagi perikehidupan rakyat dan lingkungan yang terus digempur lebih banyak lagi penghisapan dan penindasan brutal oleh koalisi pemilik modal dan negara yang didukung partai-partai yang ada saat ini.

Gerakan rakyat tidak bisa lagi hanya semata menuntut dan berharap pada oligarki dan partai-parai politik pendukungnya. Mereka jelas anti-rakyat, karenanya tidak bisa dibiarkan tetap bercokol di kekuasaan. Gerakan rakyat harus merebut kekuasaan dari mereka! Karenanya, penting dan mendesak bagi gerakan rakyat untuk serius membangun partai politik progresif. Partai yang mampu menantang kekuatan politik arus utama yang melestarikan demokrasi palsu dan dangkal saat ini. Partai ini harus dibangun dari kesadaran memimpin persatuan perjuangan berbasis kelas pekerja, mengadopsi perspektif keadilan ekologis, memperjuangkan penegakan HAM, dan koheren dengan kepentingan massa rakyat secara luas. Tidak hanya bertarung secara elektoral, partai ini juga harus menggencarkan perlawanan ekstra-parlementer. Partai semacam ini hanya mungkin progresif apabila didukung oleh berbagai elemen gerakan rakyat: serikat buruh, organisasi tani, lingkungan, perempuan, pemuda-mahasiswa, komunitas perkotaan, dan lainnya. 

Upaya ini memerlukan strategi yang cerdas dan kolaboratif, serta komitmen untuk membangun kesadaran publik melalui pendidikan politik dan kampanye yang efektif. Strategi ini perlu dijalankan melalui jaringan solidaritas yang kuat di antara kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan visi dan misi: tidak tergabung dalam formasi pendukung “demokrasi” neo-orba versi oligarki hari ini, dan memiliki visi merebut kekuasaan negara dari tangan oligarki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top